TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) mencatat sengketa pertanahan mempunyai persentase cukup besar dalam data direktori putusan.
Pada 2023, terdapat 544 perkara yang diterima, hanya 240 yang selesai.
Sedangkan pada tahun 2024 sudah 92 kasus terdaftar dan hanya 5 kasus mendapatkan putusan.
Guru Besar Hukum Universitas Pancasila, Prof. Agus Surono menegaskan perkara sengketa tanah perlu mendapat perhatian serius dari Mahkamah Agung.
Pasalnya sangat berpotensi perkara sengketa tanah tersebut merupakan praktek dari mafia tanah.
“Dalam kasus tanah sering kali bermainnya kelompok mafia tanah. Sehingga banyak rakyat kecil yang berjuang mendapatkan keadilan selalu kalah,” ujar Prof. Agus Surono dalam keterangannya pada Minggu (19/5/2024).
Terkait itulah, dia mendesak majelis hakim di MA tidak lagi bekerja pada tataran keadilan prosedural.
Hanya melihat dokumen dan bukti semata, namun juga menjangkau lebih jauh pada keadilan substanstif.
Menurutnya praktek mafia tanah sulit dihadapi oleh rakyat.
Karena mafia tanah merupakan komplotan aktor kejahatan dari berbagai keahlian. Mulai dari pengusaha, oknum KJPP, saksi palsu, notaris nakal, oknum BPN sampai oknum perbankan.
“Jadi tidak heran dokumen palsu itu bisa dengan mudah menjadi seolah asli, kemudian digunakan sebagai jaminan bank dan mendapatkan pinjaman dalam waktu cepat,” paparnya.
Dari sini maka tugas MA sebagai garda terakhir penegakan hukum untuk memberikan keadilan yang hakiki. Melindungi rakyat sebagaimana amanat konstitusi. Tidak lagi bekerja secara biasa-biasa saja.
Terlebih lagi, sambung dia keberadaan mafia tanah sudah disadari pemerintah.
Terbukti dengan dibentuknya satgas antimafia tanah oleh Kementerian ATR/BPN yang berada di bawah kendali Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.
"Kita semua berharap kerja Satgas Antimafia Tanah itu bisa berbuah nyata. Bekerja keras bersama MA dan masyarakat sipil untuk memberantas mafia tanah,” ujarnya