Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Subklaster Anak Korban Pornografi/Cybercrime, Kawiyan menyayangkan tindakan seorang ibu yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak laki-laki berusia sekitar 5 tahun yang merupakan anak kandungnya sendiri.
Tindakan yang dilakukan oleh ibu kandung yang tersebar di media sosial tersebut sudah merupakan bentuk kejahatan seksual terhadap anak.
Baca juga: Tanggapan Saipul Jamil soal Ivan Gunawan yang jadikan Pelecehan Seksual sebagai Bahan Candaan
Menurut Kawiyan, sang ibu berpotensi melanggar Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 2024 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 76D yang berbunyi: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
Atau, karena anak yang menjadi korban merupakan anak laki-laki, pelaku juga terancam oleh Pasal 76E yang berbunyi, “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”
Jika di kemudian hari pelaku terbukti apa yang ia lakukan terhadap anaknya sendiri merupakan bentuk kejahatan seksual, maka sesuai dengan Pasal 82 ayat 3 UU Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka hukumannya akan diperberat dengan tambahan 1/3 (sepertiga) dari hukuman biasa.
Baca juga: Komisi III DPR Desak Kasus Dugaan Pelecehan Seksual di UNU Gorontalo Diusut Tuntas
“Karena pelaku merupakan orangtua korban maka perlu diperiksa kondisi kejiawaannya oleh psikiater. Sedangkan anak harus diselamatkan dengan dilakukan pendampingan psikologi, pendampingan sosial, dan pemulihan fisik, psikis dan mental,” kata Kawiyan kepada Tribun, Rabu (5/6/2024).
Pada saat yang sama juga agar hak-haknya untuk belajar, bermain dan bersosialisasi dengan temannya harus tetap diberikan.
Pendampingan psikologi dan soaial terhadap anak dilakukan untuk mencegah munculnya potensi perilaku menyimpang pada anak.
Juga harus dicegah/diantisipasi dengan langkah2 yang tepat agar kelak anak korban tersebut tidak menjadi pelaku.
Hal penting yang harus dilakukan agar anak selalu dalam pengawasan.
KPAI mengawal kasus tersebut dengan berkordinasi dengan Kementerian PPPA, Kementerian Sosial, dan Polri.
Dan juga dengan Dinas Perempuan dan Perlindungan Anak dan Dinas Sosial di Daerah agar anak korban dapat ditangai dengan baik.
“Kasus tersebut bukti bahwa orangtua (ayah atau ibu) dan orang terdekat lainnya sering menjadi pelaku kekerasan terhadap anak sendiri, baik berupa kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan seksual,” tukas Kawiyan.
Baca juga: Menyesal Buat Candaan Pelecehan Seksual Saipul Jamil, Ivan Gunawan Akui Bakal Lebih Berhati-hati
Data di KPAI 2023 menunjukkan 262 kasus atau 9,6 persen ayah kandung jadi teradu/pelaku kekerasan terhadap anak; 153 atau 6,1% ibu kandung jadi teradu/korban kekerasan terhadap anak. Bahkan pihak sekolah atau apparat penegak hukum pun jadi pelaku kekerasan terhadap anak.
Satu hal yang sangat penting, agar identitas (nama, wajah, dan identitas lainnya) dari korban tidak dipublikasikan menyangkut kepentingan masa depan anak.
Kementerian Kominfo harus memastikan video terkait kasus kekerasan seksual tersebut sudah di-take down dari ranah daring.