News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Waspadai Tindak Kekerasan pada Anak, Kerap Libatkan Orang Terdekat Sebagai Pelaku

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Erik S
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Spesialis Perlindungan Anak UNICEF Indonesia, Astrid Gonzaga Dionisio di acara  dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertema ‘Perlindungan Anak dalam Ruang Digital’, Rabu (19/6/2024).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anak-anak yang mengalami kekerasan di ruang digital sebagian juga mengalami kekerasan secara langsung.

Hal ini menjadi perhatian serius bagi berbagai pihak untuk lindungi anak, mulai dari lingkungan keluarga hingga sekolah yang merupakan lingkup terdekat anak-anak sehari-hari.

Spesialis Perlindungan Anak UNICEF Indonesia, Astrid Gonzaga Dionisio mengatakan, tren kasus kekerasan terhadap anak selama ini melibatkan orang-orang terdekatnya sebagai pelaku.

Baca juga: Kasus Pembunuhan Bocah 9 Tahun di Bekasi, Komisi Perlindungan Anak: Indonesia Darurat Kekerasan

Karenanya, menciptakan lingkungan yang aman dan protektif menjadi langkah penting yang perlu dilakukan oleh orang tua, guru, hingga masyarakat sekitar.

“Di sini pentingnya lingkungan yang protektif dan aman, yakni dari orang-orang yang terdekat dengan anak seperti keluarga, orang tua, guru, dan juga teman-temannya,” ujar Astrid di acara dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertema ‘Perlindungan Anak dalam Ruang Digital’, Rabu (19/6/2024).

Astrid juga menekankan pentingnya pemahaman dan tindakan nyata dalam mencegah kekerasan terhadap anak di dunia digital melalui berbagai strategi dan pendekatan yang melibatkan semua pihak.

"Pertama kita bisa mengacu pada undang-undang yang dibuat oleh pemerintah, khususnya yang relevan saat ini adalah UU tentang kekerasan seksual. Undang-undang ini memberikan kerangka hukum yang penting untuk melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk yang terjadi di dunia digital," ujarnya.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terjadi 3.877 kasus kekerasan anak selama tahun 2023. Angka ini turun dibandingkan 2022 sebesar 4.683 kasus.

Meski angka kekerasan turun, kualitas kekerasan semakin memprihatinkan sehingga dibutuhkan kerja sama semua pihak. Salah satu yang disorot adalah dampak ruang digital pada anak.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan mengungkapkan data menunjukkan kasus kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual, baik yang terjadi secara langsung maupun melalui media digital, angkanya masih mengkhawatirkan.

Baca juga: Tersangka Pembunuhan Satu Keluarga di PPU Masih di Bawah Umur, UU Perlindungan Anak Diterapkan

"Pada 2022 ada sebanyak 4.683 kasus, kategori perlindungan khusus anak 2.133 kasus, sementara kategori pemenuhan hak 190 kasus. Pada 2023 sebanyak 3.877 kasus, 1.886 perlindungan anak tertinggi kekerasan seksual, dan 2.011 kasus masuk kategori pemenuhan hak," ujarnya.

Dari ribuan kasus dalam dua tahun terakhir, tidak sedikit pelaku kejahatan terhadap anak kebanyakan orang terdekat. Kawiyan menyebutkan, data dari KPAI pada 2023 ada 262 kasus kekerasan terhadap anak di mana pelakunya orang tua. Dalam hal ini, 153 kasus pelakunya ibu kandung.

"Ini menuntut kita untuk introspeksi dan mengembalikan fungsi orang tua sebagai pelindung anak-anak," tegas dia.

Melihat data tersebut, dia menekankan adanya urgensi bagi orang tua untuk membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan teknologi agar dapat menjadi pembimbing yang tepat bagi anak-anak dalam mengakses media digital.

Dia juga mengingatkan perlunya solusi konkret untuk meningkatkan literasi digital orang tua. Sosialisasi dan kelas khusus literasi digital bagi orang tua salah satu langkah awal yang penting untuk pencegahan.

"Tak jarang orang tua tertinggal dalam literasi digital dibandingkan anak-anak. Oleh karena itu, diperlukan solusi konkret seperti kelas edukasi literasi digital khusus orang tua," lanjut dia.

Dalam pandangannya, orang tua merupakan gerbang terdepan dalam melindungi anak-anak mereka. Oleh karena itu, orang tua wajib meluangkan waktu untuk mendampingi anak saat menggunakan gadget, mendiskusikan konten yang mereka konsumsi, serta menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti dalam memahami konten-konten digital.

Kawiyan juga menilai pemerintah perlu memperkuat regulasi terkait perlindungan anak di era digital. Peraturan yang jelas dan tegas tentang konten berbahaya, klasifikasi game, dan jaminan keamanan anak di dunia digital harus ditegakkan.

Baca juga: Serukan Perdamaian, Lembaga Zakat Indonesia Buat Program Perlindungan Anak Palestina

Astrid menambahkan, tidak ada satu tempat di negara manapun yang tidak terjadi kekerasan terhadap anak. Perbedaannya, setiap negara memiliki sistem pelaporan dan penanganan yang komprehensif.

“Sistem pelaporan dan penanganan yang tuntas itulah yang perlu kita adopsi," kata Astrid.

Di Indonesia, sistem pelaporan sudah diejawantahkan dalam wujud hotline SAPA 129 dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di lebih dari 300 kabupaten dan kota.

Namun khusus UPTD PPA, berdasarkan monitoring dan evaluasi pihaknya bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (disingkat Kementerian PPN/Bappenas), Astrid menyebut masih ada pekerjaan rumah dari segi kualitas pelayanan dan aksesibilitas.

“Ini menjadi tanggung jawab bersama, mulai dari daerah hingga pusat," jelas Astrid.

Di samping itu, dalam upaya mencegah kekerasan terhadap anak, UNICEF juga menginisiasi kampanye #JagaBareng yang mengajak semua pihak untuk saling peduli dan menjaga anak-anak, baik secara langsung maupun melalui perilaku digital.

"Kampanye ini melibatkan unsur anak-anak, orang tua, dan guru. Fokusnya adalah pada basic parenting, yaitu bagaimana kita memeriksa keadaan anak dan mendengarkan apa yang mereka katakan," terang Astrid.

Untuk menghadapi tantangan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), UNICEF mengkampanyekan hastag #ThinkBeforeYouClick.

"Dengan AI, konten dapat dieksploitasi lebih mudah. Karena itu, memastikan platform yang aman agar tidak dieksploitasi orang adalah langkah yang harus diambil," kata Astrid.

Kampanye-kampanye yang dilakukan UNICEF ini dilakukan karena Indonesia memiliki tingkat privasi internet yang sangat tinggi, dan anak-anak menjadi salah satu pengguna terbesar. Astrid menegaskan bahwa semua pihak harus melakukan pencegahan lebih dini.

"Jangan menunggu ada kasus baru bertindak. Prinsip-prinsip yang bisa diadopsi dari berbagai negara sangat penting, selain pelayanan yang memadai," ujarnya.

Dia juga mengimbau para orang tua untuk melakukan pencegahan dengan melakukan perlindungan ketika anak mengakses internet, seperti menggunakan password atau fitur kontrol orang tua pada gadget, demi menghindari tersebarnya data maupun informasi yang bersifat privasi.

“Mengarahkan anak ke platform media yang ramah anak juga merupakan langkah penting," kata Astrid.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini