Sentilan Meutya ini mulanya menanggapi penjelasan dari Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen (Purn) Hinsa Siburia.
Hinsa menyebut, peretasan ini karena memiliki masalah dalam tata kelola.
"Kita ada kekurangan di tata kelola. Kita memang akui itu. Dan itu yang kita laporkan juga, karena kita diminta apa saja masalah kok bisa terjadi, itu salah satu yang kita laporkan," ujar Hinsa dalam rapat, Kamis.
Meutya langsung menimpali Hinsa dengan menegaskan persoalan peretas PDN bukan lah perihal tata kelola.
"Kalau enggak ada back up, itu bukan tata kelola sih, Pak, kalau alasannya ini kan kita enggak hitung Surabaya, Batam back up kan, karena cuma 2 persen, berarti itu bukan tata kelola, itu kebodohan saja sih, pak," ujar Meutya.
"Punya data nasional dipadukan seluruh kementerian harusnya, untung katanya ada beberapa kementerian belum comply, belum gabung. Masih untung orang Indonesia."
"Yang paling patuh Imigrasi saya dengar. Itu yang paling enggak selamat. Intinya jangan bilang lagi tata kelola, Pak. Karena ini bukan masalah tata kelola, ini masalah kebodohan. Punya data nasional tidak ada satupun back up berarti kan?" imbuh Meutya.
Diketahui, Pusat Data Nasional (PDN) mengalami serangan siber dengan "Ransomware" pada Kamis (20/6/2024).
Akibat peretasan ini setidaknya data di 282 kementerian/lembaga terkunci.
Peretas yang mengirim ransomware meminta 8 juta dolar AS atau senilai Rp131 miliar untuk membuka data yang diretas.
(Tribunnews.com/Milani Resti/Abdi Ryanda S)