News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pelaku dan Korban TPPO Didominasi Perempuan, Ini Alasannya

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sekjen PBHI Gina Sabrina, dalam diskusi publik bertajuk 'Menuntut Hak Atas Pemulihan bagi Korban TPPO', di Jakarta Selatan, pada Rabu (3/7/2024).

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menemukan dominasi perempuan dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO), baik sebagai korban maupun pelaku.

Hal ini berdasarkan penelitian PBHI dengan sumber hukum doktrinal, termasuk regulatory impact analysis, melakukan studi putusan pengadilan, dan melakukan survei pengalaman advokat.

Baca juga: Enik Rutita, DPO Kasus TPPO Mahasiswa Magang ke Jerman Ditangkap Saat Piknik di Italia, Ini Perannya

Selain itu, penelitian dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual seperti hak asasi manusia (HAM), hak korban dan bagaimana proses penanganan kasus di pengadilan pidana.

Sekjen PBHI Gina Sabrina mengungkapkan, secara gender, 95 persen korban TPPO adalah perempuan. 

Data tersebut berdasarkan catatan Polri per 5 Juli 2023, di mana tercatat sebanyak 982 aduan dan jumlah 1.361 tersangka yang berhasil diungkap.

Baca juga: Polri Tangkap 1 Buron Kasus TPPO Ferienjob ke Jerman di Italia

"Dari sini kita lihat karena perempuan secara hirarkis punya kondisi yang kebih rentan dibanding laki-laki," ucap Gina, dalam diskusi publik bertajuk 'Menuntut Hak Atas Pemulihan bagi Korban TPPO', di Jakarta Selatan, pada Rabu (3/7/2024).

Kemudian, secara latar belakang pendidikan, korban TPPO didominasi oleh masyarakat yang hanya mengenyam pendidikan hingga SD dan SMP. 

Lebih rinci, sebanyak 33 persen korban hanya mengenyam pendidikan hingga SD, 33 persen hanya sampai SMP, 11 persen hanya lulus SMA, dan 22 persen lainnya tidak menyelesaikan pendidikan.

"Kami simpulkan, bahwa mereka korban (TPPO) berasal dari kelompok miskin yang tidak mendapatkan perlindungan dan hidup di bawah standar layak," kata Gina.

"Jadi kondisi HAM mereka secara dasar sudah minus, karena pendidikan yang menjadi akses bagi pekerjaan layak, kehidupan layak itu sendiri tidak terpenuhi sejak awal," tambahnya.

Menurutnya, kerentanan-kerentanan dalam hal pemenuhan hak dasar tersebut yang menjadi faktor dalam rantai eksploitasi.

Baca juga: Enyk Waldkoenig, Buronan Kasus TPPO Mahasiswa Berkedok Magang ke Jerman Ditangkap di Italia

"Sehingga kerentanan ini dimanfaatkan. 'apakah kamu mau punya kerja tanpa ijazah?'" kata Gina.

Sementara itu, dari sisi pelaku TPPO, kata Gina, 52 persen merupakan perempuan dan sisanya laki-laki.

"Modus operandi, sesama perempuan mendekati dengan 'jualan teman'. Itu lebih diterima korban. Kalau perempuan pendekatannya lebih emosional dibanding laki-laki," ucap Sekjen PBHI itu.

Bahkan, ia mengungkapkan, dari sisi pekerjaan, pelaku TPPO yang paling tinggi adalah tidak bekerja. 

"Karena dia rantai eksploitatif dan terorganisir. Jadi dia juga merekrut yang punya latar belakang yang sama dengan korban. Jadi lebih bisa mendekati korban secara emosional," tuturnya.

Lebih lanjut, Gina mengatakan, proses penegakkan hukum TPPO nyatanya lebih banyak didominasi atau ditargetkan kepada pelaku lapangan, namun pelaku utama alias aktor intelektual belum terjamah aparat penegak hukum secara optimal.

"Dari berbagai putusan pengadilan, kami lihat pelaku yang tertangkap pelaku lapangan yang juga masyarakat miskin, jadi bukan pemodal atau aktor intelektual. Pelaku melakukan itu (TPPO) karena tekanan ekonomi. Berada dalam kehidupan yang tidak layak," ungkap Gina.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini