Data terakhir, pada 2022, menunjukkan produksi CPO mencapai 46,73 juta ton.
Baca juga: Penyumbang Emisi Gas Rumah Kaca ke-8 Dunia, Kementerian Investasi: Indonesia Menuju Ekonomi Hijau
Berdasarkan data GAPKI tersebut, volume produksi CPO Indonesia tetap tinggi walau pada 2019 Uni Eropa yang menghentikan penggunaan sawit untuk biodiesel.
Memang sejak itu, harga CPO dunia turun.
Berimbas pada nilai ekspor Indonesia pada 2019 yang sebesar US$15,54 miliar.
Turun dari tahun sebelumnya yang sebesar US$17,9 miliar.
Pada 2022, volume ekspor CPO Indonesia mencapai 26,22 juta ton dengan nilai Free on Board (FOB) mencapai US$15,97 miliar.
Hal ini menandakan adanya kenaikan harga CPO dunia yang terutama dipicu oleh upaya hilirisasi CPO di Indonesia.
Tiga jalur utama dalam hilirisasi CPO yang menjadi fokus adalah industri kompleks oleofood, industri kompleks oleokimia, dan industri biofuel.
Menurut Ardi Adji, Pengajar dan Peneliti Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, perluasan lahan bukan jadi satu-satunya cara untuk meningkatkan pasokan CPO.
“Tidak perlu terus menerus memperluas lahan, tapi bisa juga dari peningkatan produktivitas petani dan pengelolaan pasar. Populasi petani di Indonesia itu cukup dominan. Ada lebih dari 10 juta petani kelapa sawit yang harus dibantu meningkatkan produktivitas tanpa menambah lahan. Misalnya untuk benih dan pupuk yang berkualitas, akses ke kredit dan menekan biaya logistik yang selama ini ditanggung petani,” katanya.
Baca juga: Kejar Target Penurunan Gas Rumah Kaca, Industri Sawit Wajib Siapkan SDM Berkualitas
Upaya mendorong bauran minyak kelapa sawit menjadi bahan bakar bisa membuat situasi lebih buruk.
“Apa benar tingkat polusi masyarakat di kota bisa turun karena ada peningkatan bauran energi? Bagaimana dengan masyarakat di desa? Mereka kesulitan karena lahan berkurang, kemiskinan meningkat, stunting atau kekurangan gizi kronis bisa makin naik dan klaim jaminan kesehatan meningkat,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
Bhima mendorong cara pandang alternatif selain penggunaan bahan bakar minyak dan solar yang boros dalam komponen biaya logistik di Indonesia.
“Bukan bahan bakarnya yang terus menerus kita sediakan. Ini memperkaya perusahaan-perusahaan pengolah bahan bakar itu. Memperkaya para aktornya,” katanya.
Menurut Tommy, peningkatan deforestasi berpotensi berdampak negatif pada lingkungan, keanekaragaman hayati dan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca.
Deforestasi yang terjadi pada saat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit berkontribusi pada kehilangan keanekaragaman hayati dan pelepasan emisi karbon yang signifikan.
“Traction Energy Asia mengapresiasi Menko Maritim dan Investasi yang baru-baru ini menyatakan bahwa akan menggunakan minyak jelantah atau limbah dari kelapa sawit untuk menjadi bahan bakar aviasi (penerbangan),” Tommy menambahkan.