Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelapor dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, Abdul Hakim, usai menjalani pemeriksaan oleh Komisi Yudisial (KY).
Pemeriksaan terhadap Pelapor Abdul Hakim dilakukan setelah KY menerima laporan dugaan pelanggaran kode etik yang diajukanya terhadap majelis hakim Mahkamah Agung (MA), yang mengeluarkan putusan Nomor 23 P/HUM/2024, pada Rabu, 29 Mei 2024 lalu.
Diketahui, putusan tentang syarat batas minimal usia calon Gubernur
Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Yulius, serta dua anggotanya, Cerah Bangun dan Yodi Martono Wahyunadi.
Putusan tersebut menyatakan calon gubernur berusia paling rendah 30 tahun dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Saat ditemui usai pemeriksaan, Abdul Hakim mengatakan, pihaknya diperiksa oleh tim pemeriksa KY mengenai alasan pelaporan yang diajukan pihaknya.
Ia menjelaskan, ada kenanehan atau hal yang tidak biasa yang ditemukan pihaknya dalam putusan tersebut. Menurutnya, secara aspek prosedural, putusan MA a quo terlalu cepat diputus.
"Bahwa putusan MA ini terlalu cepat (diputus) dan tidak biasanya," kata Abdul Hakim, kepada wartawan di Gedung KY, Jakarta, Kamis (18/7/2024).
Baca juga: Anies Sindir Putusan MA yang Ubah Batas Usia Calon Kepala Daerah, Tolak Berpasangan dengan Kaesang?
Abdul menerangkan, perkara 23 itu diajukan ke MA pada 22 April, kemudian dilakukan penunjukkan hakim yang menangani, pada 27 April. Selanjutnya, perkara tersebut diputus, pada 29 April 2024.
"Artinya hanya butuh tiga hari untuk diputuskan (perkara 23 P/HUM/2024)," terangnya.
Kata Abdul, biasanya pengujian undang-undang ditangani dalam waktu yang lama. Ada yang membutuhkan waktu enam bulan, bahkan lebih.
"Bagi kami ini adalah momen pilkada dan sangat mungkin ada indikasi bahwa putusan ini diduga diintervensi," ucapnya.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti, dari aspek materiil, perkara a quo seharusnya diputus dengan amar 'membatalkan'. Sebab, perlu adanya pendapat dari ahli hukum untuk memperkuat dalil yang diajukan Partai Garuda, selaku Pemohon pengujian UU Pilkada tersebut.