Selain itu juga bisa membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
"Misalnya kita membangun sendiri karena persoalannya sekarang ini kan lucu tergantung pada impor, selalu impor tetapi tidak pernah inovasi untuk menghasilkan produk dalam negeri," ujar dia.
"Tetapi kita juga harus memikirkan suksesi subsitusi negara lain di mana yang memproduksi keramik juga yang menguntungkan tetapi dengan harga tentu lebih tinggi dari Tiongkok tapi itu risiko. Selain itu kita harus memproduksi sendiri sebenarnya untuk ciptakan lapangan pekerjaan juga," lanjutnya.
Trubus menyampaikan pengenaan rencana BMAD mencapai 200 persen tidak perlu dilakukan dalam waktu dekat ini.
Yang perlu dilakukan pemerintah adalah harus menggandeng negara penghasil keramik untuk berinvestasi atau bermitra dengan produsen lokal dalam memproduksi keramik yang berkualitas.
"Iya tidak dulu menaikkan nanti kita repotnya dibalas oleh Tiongkok, ada industri ekspor kita nanti diblacklist oleh dia, jadi lebih baik mungkin berjalan saja secara bertahap."
"Nah kita secara perlahan kerja sama dengan negara membuat keramik itu sembari negara kita, industri keramik kita yang ada ini digenjot produksinya untuk menutupi pangsa pasar yang sangat tinggi," ucapnya.
Lebih lanjut Trubus mengatakan perlu ada transfer teknologi dari negara lain untuk memproduksi keramik dalam negeri agar sesuai selera pasar.
Pemerintah ke depan harus berkonsentrasi juga untuk memaksimalkan produk dalam negeri yang bermutu agar tidak terlalu bergantung terhadap impor, hal itu bisa dilakukan misalnya seperti dengan memberikan pinjaman lunak.
"Kebijakannya sekarang Indonesia mulai mencari negara-negara mana yang memproduksi keramik itu sambil intinya kan kita harus orientasinya ke dalam negeri," ucap Trubus.
"Industri kita ini masalah teknologi, negara perlu mensubsidi mereka untuk bisa memberi softloan atau pinjaman supaya mereka bisa menggenjot itu produksinya," tandasnya.