TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Jamaah Islamiyah (JI) sudah membubarkan diri 30 Juni 2024 lewat Deklarasi Sentul.
Bubarnya organisasi Jamaah Islamiyah pada akhir Juni itu memantik pendapat skeptis dan keraguan sebagian pihak.
Keputusan penting itu terkesan terjadi mendadak, mengejutkan, dan reaksi pemerintah Indonesia terkesan agak dingin.
Apa yang sebenarnya terjadi di balik bubarnya Jamaah Islamiyah?
Tokoh Senior Eks JI, Ustaz Abu Mahmudah alias Arif Siswanto dalam wawancara khusus dengan Tribun mengatakan bahwa JI berangkat dari kejujuran.
Ustaz Abu Mahmudah adalah tokoh teras JI sebelum bubar, yang dikenal alim dan sangat pintar.
Berikut wawancara lengkap dengan Ustaz Abu Mahmudah.
TRIBUN (T) : Jamaah Islamiyah bubar atau membubarkan diri 30 Juni 2024. Ini bubar sungguhan atau bagaimana sebenarnya ustaz?
ABU MAHMUDAH (AM) : Tentu bukan hanya sekadar ada kejujuran, tapi berangkat dari kejujuran. Jadi bubarnya ini serius. Waktu nanti yang akan membuktikan, Inshaallah.
T : Tentu bukan dadakan? Pasti ada proses yang mendahului?
AM : Pasti modal dasarnya adalah trust, komunikasi dan trust. Kami mengawali proses dengan komunikasi dengan aparat negara, dalam hal ini Densus 88 Antiteror.
Karena kalau berbicara antar kami, kami berada dalam situasi keamanan yang tidak mungkin. Saat kami di dalam kami berkomunikasi dengan aparat Densus dan Densos. Proses yang sama dilakukan teman-teman lainnya di luar. Setelah saya di luar baru terjalin komunikasi lagi. Kami sampai pada kesimpulan Jamaah Islamiyah harus bubar.
T : Atas dasar apa?
AM : Kalau saya atas dasar pertama, mindset (cara pandang/jalan pikiran). Kedua, beban hukum. Pertama dari mindset, bahwa setelah kami renungkan, negara Repubik Indonesia dibangun melibatkan para ulama, karena melibatkan ulama tentu mereka tidak serampangan membentuk negara.
Ternyata langkah-langkah (penentangan) yang pernah dilakukan itu tidak lebih mendatangkan manfaat ketimbang langkah yang sekarang kita laksanakan. Karena hampir kita semua menyandang beban hukum.
Dulu kan kita bergabung dengan Jamaah Islamiyah untuk mendapatkan nilai tambah di hadapan Allah SWT. Sekarang berdasar UU Antiterorisme, menjadi anggota kalau ada yang jadi saksi saja, maka anak-anak adik-adik sekalian, sudah bisa dituntut. Nah, ini belum memberikan kemanfaatan, sudah datang bahaya, sudah ada risiko yang sesungguhnya tidak perlu.
Sebelumnya mengenai ketetapan dilarangnya JI didasarkan vonis sidang akhi Zarkasih dan Abu Dujana. Sekarang sudah dikuatkan 500 vonis terkait masalah-masalah yang sama. Jadi benar-benar ada masalah, dan masalah menimpa kalian.
Kami yang sedikit lebih tahu harus mengangkat masalah ini dari anak-anak dan adik-adik sekalian. Karena argumentasi seperti ini, grass root jika sudah sempat mendengar, dengan rela hati menerima apa yang diputuskan para senior.
T : Secara pribadi ketika sampai pada keputusan itu bagaimana berat gak?
AM : Bera, berat. Tapi kami tidak boleh terus menerus dalam situasi baper. Masa depan generasi kami, ikhwan-ikhwan kami yang tersisa. Anak didik kami, anak biologis dan didikan kami di lembaga pendidikan, harus jadi pertimbangan daripada larut dalam perasaan.
Baca juga: Beragam Respons Terkait Jamaah Islamiyah yang Membubarkan Diri
Lebih kepada memberi jalan kepada mereka supaya bisa memberi kontribusi positif, konstruktif agar bangsa ini maju dan bermartabat. Toh kalau bangsa ini maju, 85 persen rakyat kan umat Muslim juga.
T : Apa yang akan dilakukan para tokoh ini mengingat realitas menunjukkan di masa lalu ada banyak individu melakukan aksi-aksi dan mereka banyak yang dilahirkan JI?
AM: Begini, ada yang menarik ada terungkap fakta, di antara pelaku bom Bali 1, bahkan ada yang mencabut baiat ke JI sebelum beraksi. Siapanya saya tidak tahu, hanya dengar saja.
Tapi dari sini kita bisa melihat ada individu yang sadar perbuatannya adalah inisiatif sendiri, dan tidak ada perintah organisasi.
Kedua, di persidangan terbukti para pelaku ini, istilahnya bekerja sama langsung dengan Al Qaeda, dan tidak bekerjasama dengan manajemen JI. Jangan lupa, iklim perjuangan masa itu, umat Muslim mengalami banyak persekusi di Afghanistan, Bosnia Herzegovina, dan narasi yang muncul adalah pembelaan umat muslim.
Jadi ini conditio sine qua non dan membentuk pribadi yang ingin solidaritas dengan mereka. Nah ketika kita menjelaskan dengan cara-cara santun, Inshaalah akal sehat dan argumentasi ini akan menang, tidak dengan perasaan-perasaan baper.
Keluarga-keluarga pelaku yang masih hidup pun juga tidak masanya lagi diperlakukan disudutkan. Karena misinya mengintegrasikan anak-anak ini jadi bagian bangsa.
T : Benarkah ada kader JI yang bersembunyi, atau jadi DPO, kemudian bersilaturahmi ke Ustad Siswanto setelah mendengar JI bubar?
AM : Benar, dan saya mengungkapkan fakta-fakta saja. Posisi jamaah ini di hadapan negara ini seperti ini kasusnya sudah demikian banyak. Fakta persidangan saya melihat langsung. Lalu saya sampaikan dengan bahasa-bahasa seperti ini.
Kamu dalam situasi seperti itu, saya sampaikan fakta. Kamu melanjutkan seperti itu, saya tidak akan memaksa. Pikirkan, mau seberapa lama lagi. Pikirkan keluargamu, istrimu anak-anakmu.
Sampai kapan dan berapa lama kamu akan terpisah dalam situasi ini. Tapi saya tidak memaksa, silakan pikirkan baik-baik. Sekiranya kamu perlu komunikasi dengan saya, silakan komunikasi.
Dengan cara komunikasi seperti itu, mereka akhirnya menyadari, dan memahami. Oh iya ustad kami percaya.
T : Ada nggak yang kemudian menegakkan kepalanya (berontak)?
AM : Awalnya ada yang seperti itu. Tapi kita tetap saja sampaikan dengan cara santun. Ndak papa kamu mau seperti itu, tapi kalau jumlah besar senior kembali ke negara, kamu mau sama siapa.
Kami bisa berdiri seperti para senior ini…kalau kira-kira sanggup..hehehehehe! Tapi Inshaalah sejauh ini mereka bersedia mendengar. Kadang-kadang memerlukan waktu.
Bisa dibayangkan, sudah bertahun-tahun, berpuluh tahun seperti ini, tiba-tiba kereta berhenti. Ndak main-main. Beritanya ke dalam aja besar, apalagi keluar.
T : Saya kira-kira ini akan semakin menggaung, apalagi tokoh-tokoh seperti Ustad Siswanto dan Ustaz Anshori begitu terbuka.
AM : Mudah-mudahan, saya kira harapannya begitu, kita ingin membantu menintegrasikan mereka, kami tidak ingin mewariskan kepada anak-anak kami itu stigma. Karena mungkin kekeliruan dan salah langkah para orang tua ini, mereka teralienasi, potensinya tidak bisa disumbangkan ke hal positif.
T : Bagaimana dengan mereka yang dulu kader JI melakukan aksi kekerasan atas inisitiaf pribadi, apakah juga akan direngkuh atau berlepas diri?
AM : Upaya pertama kami adalah komunikasi, dan pintu pertamanya adalah kesediaan komunikasi dan bersedia mendengar. Bahkan mereka mungkin lebih berhak daripada yang lain.
T : Apakah selama ini sebelum 30 Juni 2024 mereka sudah dianggap di luar organisasi? Atau masih anggota?
AM : Mungkin mereka-mereka itu tidak terlibat dalam struktur, wong saya saya juga tidak di dalam struktur. Tapi bahwa mereka bagian dari keluarga pertama jamaah, dan kaum Muslimin yang punya hak lebih dekat daripada yang lain, tidak akan kami tinggalkan. Kalau ada yang tercecer, kita akan sisir lagi nanti, tentu setelah negara lebih percaya lagi.
T : Tentu butuh pembuktian ya?
AM : Makanya selalu ada yang bilang, ini serius nggak, ini strategi saja, ada yang ragu, ini jangan-jangan taqiyah, ada pertanyaan datang dari banyak pihak. Tapi kami tidak ragu-ragu menjawab. Kami berangkat dari kejujuran, juga kejujuran berkomunikasi. Kalau ndak jujur kan ndak jadi teman toh…hehehehe.
T : Secara pribadi apa pandangan ustaz terhadap mereka yang melakukan aksi kekerasan di masa lalu?
AM : Itu kan persoalan ijtihadi ya. Jadi persoalan jihad yang dilakukan organisasi lain seperti Muhammadiyah dan NU, mengambil ijtihad kenegaraan, tapi kan ada pihak lain yang menganggap ini kurang syarii.
Jadi kalo kedua ijtihad ini dilakukan sepadan, tentu sah-sah saja. Tentu karena berjalannya waktu, oh pertumpahan darah kaum muslimin, bangsa tercabik, ini jadi tersia-siakan. Kan begitu.
Ada satu pengalaman berharga dalam sejarah. Dulu setelah Ali bin Abu Thalib dibunuh orang khawarij, Hasan bin Ali jadi khalifah berikutya, yang konflik sejatinya sesungguhnya dengan Muawiyyah.
Hanya karena Ali dan Muawiyyah berdamai di Sifin, orang khawarij tidak terima, sehingga Ali dibunuh. Muawiyyah akan dibunuh juga tapi gagal.
Hasan sebagai pengganti Ali lalu melakukan perdamaian dengan Muawiyah. Hasan berdamai karena melihat darah kaum muslimin tumpah di mana-mana.
Makanya ketika terjadi perdamaian itu para ulama melihat amuljamaah, kembali bersatunya kaum muslimin dari jamaah Muawiyyah di Damaskus dengan jamaah Ali bin Abu Tholib dan Hasan bin Ali Abu Tholib. Di sinilah beliau dipuji.
Artinya, kadang bentuk perdamaian melihat pada apa yang menimpa umat. Kita mengambil itibar dari kejadian itu.
Jangan anak bangsa ini terus menerus, kalaulah ini dianggap ijtihad, terbukti friksi terjadi, luka seperti itu, ini harus diakhiri. Jangan sampai kemudian umat muslim dianggap masih punya masalah dengan negaranya.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)