"Karena itu, harus ada pengawasan ekstra terhadap daycare. Jangan sampai memunculkan daycare ilegal atau daycare abal-abal. Terlebih saat ini izin mendirikan daycare, sangat mudah diperoleh masyarakat," ucapnya.
Ia menyebut, di Depok saja, berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Hukum dan HAM, ada 110 Daycare, namun hanya 12 yang terdaftar.
Belum lagi di wilayah lain. Dari angka itu, terlihat ada kebutuhan mendesak untuk mengawasi daycare-daycare tersebut.
Sebagai informasi, daycare yang legal adalah lembaga yang terdaftar di Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Ristek, atau Kementerian Sosial, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA).
Sementara daycare ilegal tidak dapat dipantau pengelolaannya, baik dari sisi kelembagaan, sumber daya manusia (SDM), maupun layanan pengasuhan.
Itu sebabnya, harus ada sistem pengawasan, pengasuhan berbasis psikologis tumbuh kembang anak, sesuai usia dan pemahamannya.
Henry yang juga politisi Partai Golkar ini menegaskan pentingnya untuk memastikan anak-anak berada di tangan pengasuh yang kompeten dan dapat dipercaya, sehingga mengurangi risiko kekerasan dan penelantaran.
"Terlebih pada implementasinya, belum semua daycare dapat menjalankan fungsi mengasuh, merawat, dan mendidik anak secara baik dan berkualitas,” kata Prof Henry.
Daycare atau taman penitipan anak di satu sisi hadir untuk membantu orang tua yang ingin "menitipkan" anaknya.
Biasanya, karena orang tua dalam hal ini ayah dan ibu disibukkan sebagai pekerja di luar rumah, sehingga mereka memerlukan jasa penitipan anak untuk menjaga, merawat, dan mengawasi anak agar tetap aman, sehat, dan nyaman selama ditinggal sementara waktu oleh orang tuanya.
Menitipkan di daycare menjadi salah satu solusi yang dipilih orang tua dengan berbagai pertimbangan.
Namun belakangan ada kejadian yang membuat daycare menjadi sorotan.
Sebut saja kasus yang terjadi di Wensen School, Depok, Jawa Barat dan Pekanbaru, Riau, yang belum lama ini terungkap.
Dua anak, berusia 2 tahun dan 9 bulan, yang dititipkan di Wensen School dilaporkan mengalami penyiksaan justru dilakukan oleh pemiliknya sendiri, bukan pengasuh atau guru di "sekolah" itu.