TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Yasril Ananta Baharuddin menegaskan tidak setuju jika Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menjadi Ketua Umum Partai Golkar.
Alasan yakni soal rekam jejak Bahlil di Partai Golkar dan menjadi bagian intervensi penguasa terhadap dinamika Golkar.
Hal itu disampaikan Yasril saat berbincang dengan Tribunnews.com Kamis (15/8/2024).
"Persyaratannya kan tidak sesempurna yang kita sebutkan jenjangnya di Golkar."
"Kalaupun itu secara sepihak dikatakan oleh pak Idrus Marham, dia terbukti pernah jadi bendahar Golkar di Papua dan dia yang tanda tangan dan pak Aburizal, ya memang harus sebagai ketua umum dan Sekjen tanda tangan," ujarnya.
"Dan kalau di bendahara di Golkar ya waktu dia Hipmi di Papua, ya perlu juga bagaimana caranya supaya dia jadi bendahara," jelasnya kemudian.
Menurut Yasril, untuk menjadi Ketua Umum Partai Golkar, kepemimpinan seseorang harus teruji dan tidak pecicilan.
Yasril pun mengatakan Bahlil pernah menyatakan tidak mewakili di saat awal menjabat sebagai Menteri Investasi.
Ia menyebut catatan-catatan Bahlil akan menjadi rekam jejak yang menjadi pertimbangan sebelum pemilihan Ketua Umum Golkar di Musyawarah Nasional (Munas) nanti.
Untuk diketahui, Munas Golkar yang akan didahului Rapimnas pada 20 Agustus 2024 mendatang diputuskan dalam Rapat Pleno Golkar pada 13 Agustus 2024 lalu.
Jadwal Munas tersebut dipercepat lantaran Airlangga Hartarto mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar dan Agus Gumiwang Kartasasmita ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum.
Bamsoet dan Agus Gumiwang Lebih Layak
Yasril menyebut dua nama yakni Bambang Soesatyo (Bamsoet) dan Agus Gumiwang Kartasasmita.
"Kalau saya pribadi tidak setuju (Bahlil jadi Ketum Golkar)."