Sebab, Pilkada serentak memiliki makna penting sebagai bentuk pengabdian kader kader PDIP untuk mendapatkan kepercayaan rakyat.
"Sebab jalannya pemerintahan di daerah akan berdampak maju mundurnya daerah. Apalagi Pilkada-nya serentak, sehingga kami harus memikirkan strategi yang terbaik untuk menyukseskan calon calon yang kami usung dan dukung," tuturnya.
Baca juga: 3 Sikap PDIP Usai Jokowi Copot Yasonna Laoly-Arifin Tasrif sebagai Menteri Kabinet Indonesia Maju
Ketua DPP PDIP bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif Deddy Yevri Hanteru Sitorus mengkritisi keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencopot kader PDIP Yasonna Laoly dari jabatannya sebagai Menteri Hukum dan HAM (Menkumham).
Menurut Deddy, pencopotan Yasonna Menkumham adalah murni agenda politik untuk meloloskan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
"Penggantian Menkumham Yasona Laoly adalah murni agenda politik untuk meloloskan UU MD3 guna mencapai 3 tujuan," kata Deddy.
Dia mencurigai tiga agenda Jokowi sebagai alasan melakukan pencopotan terhadap Yasonna.
Pertama, agar Golkar yang sudah dikendali Jokowi dalam posisi kuat karena bisa menguasai legislatif dari DPR RI hingga Provinsi dan DPRD Kabupaten-Kota.
"Hal ini akan memudahkan Jokowi dalam mengatur peta politik nasional-daerah untuk mengimbangi kekuasaan presiden terpilih sekaligus mengkerdilkan PDIP," ujar Deddy.
Kedua, kata Deddy, akan memudahkan Jokowi untuk membagi-bagi jabatan untuk internal Golkar nantinya.
"Dengan demikian, gejolak internal Golkar bisa diredam. Itu analisa saya, silakan orang tidak sependapat," ucapnya.
Ketiga, untuk melumpuhkan partai-partai politik yang akan melakukan Kongres/Munas/Muktamar sebelum Pilkada.
"Agar takluk dan manut dalam Pilkada dan penyusunan personil pengurus periode berikutnya," tuturnya.
Sebab, peran Menkumham sangat penting dalam pengesahan kepengurusan parpol. Sehingga, jika tidak tunduk beresiko tak bisa ikut Pilkada atau tidak disahkan kepengurusannya.
Deddy menilai, Jokowi sedang bermain politik kotor kekuasaan untuk mengamankan kepentingan dan posisi politik dinastinya.
Sebab, tidak ada alasan etis, substansial, teknis-birokratis yang bisa menjelaskan reshuffle jelang 2 bulan Jokowi lengser.