News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Perempuan Adat Sihaporas Menangis Ceritakan Trauma Anak-anak terhadap Teror dari Polisi

Penulis: Gita Irawan
Editor: Dodi Esvandi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Perempuan Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas, Mersi Silalahi, saat Konferensi Pers Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terkait Perlindungan dan Pemenuhan Hak Masyarakat Adat di Dolok Parmonangan dan di Sihaporas di Kantor Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, Jakarta pada Rabu (11/9/2024).

"Dan kadang karena kesibukan berjaga di sana, karena kami juga sering, karena dari kepolisian itu sering mengintai kami. Kami itu harus berjaga di sana 24 jam. Dan kadang saya itu bisa bertemu dengan anak saya itu paling cepat sekali 3 hari, dan kadang sekali seminggu," kata Mersi sambil menangis.

Mersi mengaku merasakan adanya ketidakadilan perlakuan yang diterima dirinya dan warga kampung adatnya dari pihak kepolisian.

Selama ini, kata dia, tidak hanya sekali warga masyarakat adat melaporkan apa yang dialami warga dalam konflik dengan pihak PT TPL.

Akan tetapi, kata dia, laporan-laporan warga kampungnya itu dimentahkan bahkan pernah ditolak dengan alasan pihak PT TPL telah mengadukan persoalannya lebih dulu dan pihak kepolisian tidak bisa menerima dua aduan yang sifatnya pro kontra.

Sebagai gambaran, ia pun menceritakan ketika pihak kepolisian mendatangi pos keamanan warga dan bertanya perihal ban kendaraan PT TPL yang diduga dikempesi warga.

"Dan yang paling lucu yang saya rasakan, di mana pernah ada polisi dari Polsek Simalungun datang ke kampung kita. Datang bertemu di Posko (bertanya) "eh katanya di sini mobil TPL yang bannya dikempesi?" kata dia.

"Itu yang menjadi lucu juga bagi kami, kenapa begitu TPL yang melapor cuma ban kempes saja, itu dari kepolisian itu harus turun? Jadi kenapa kita yang masyarakat yang sudah merasakan sakitnya itu, tidak ada (polisi)?" sambung dia.

Ia menegaskan karena situasi itulah yang membuatnya bertekad datang ke Jakarta meski harus meninggalkan anak-anaknya di kampung.

Tidak ada keinginan lain baginya selain memperjuangkan hak-hak dan masa depan anak-anaknya di tanah adat yang telah mereka huni selama 11 generasi itu.

"Demi untuk memperjuangkan hak-hak anak saya. Untuk generasi berikutnya. Demi lestarinya wilayah adat kami. Demi lestarinya juga Danau Toba karena kami berada di kawasan Danau Toba," kata dia.

Diketahui, belakangan pihak Polres Simalungun menyatakan telah menangkap lima anggota komunitas adat yakni Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Gio Ambarita, Prando Tamba, dan Pak Kwin Ambarita.

Kapolres Simalungun AKBP Choky S Meliala mengatakan bahwa penangkapan kelima warga tersebut terkait pengrusakan secara bersama-sama pada 18 Juli 2024.

"Penjemputan ini merupakan tindak lanjut dari laporan pengrusakan secara bersama-sama sesuai Pasal 170 KUHP," kata Kapolres AKBP Choky Meliala dikutip dari Tribun-Medan.com.

Atas penangkapan tersebut, pihak masyarakat adat didampingi kuasa hukumnya juga telah berupaya melakukan pra peradilan untuk menggugat penetapan empat tersangka dari lima orang yang ditangkap tersebut.

Namun Hakim Tunggal pra peradilan Anggreana E Roria Sormin menolak gugatan tersebut pada persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Simalungun pada Selasa (20/8/2024) siang.

Anggreana menyebut bahwa penetapan tersangka telah sesuai dengan prosedur penangkapan yang diatur dalam KUHAP.

"Bahwa penyidikan yang dilakukan telah sesuai, alat bukti yang disampaikan di persidangan telah memenuhi persyaratan KUHAP, dan telah memenuhi syarat penahanan," kata Anggreana dikutip dari Tribun-Medan.com.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini