Akan tetapi, kata dia, pemikiran dan sikap tersebut baru diwujudkan 30 Juni lalu karena memanfaatkan momentum.
"Maka sekali lagi, kesadaran untuk pembubaran untuk Al Jamaah Islamiyah itu sudah ada sejak awal, bukan baru 30 Jumi 2024 atau sebelum itu. Atau 2 tahun, 3 tahun sebelum itu. 20 tahun atau 30 tahun sebelum itu mungkin. Pemikiran untuk itu ada. Pemikiran dan sikap. Tetapi tindakan belum kita lakukan," kata dia.
"Tindakan itu memanfaatkan momentum. Momentumnya memungkinkan kita untuk memberikan semacam pernyataan bahwa Al Jamaah Islamiyah resmi dibubarkan tanggal 30 Juni 2024 dan kita kembali ke pangkuan NKRI," sambung dia.
Ia mengakui JI pernah melawan NKRI dan menganggap NKRI adalah taghut.
Taghut, kata dia, adalah bersikap memusuhi Islam dan ingin melenyapkan Islam dari bumi Indonesia.
Akan tetapi, kata dia, setelah ia mencoba mengkaji hal tersebut justru menurutnya belum pernah ada satu pun fatwa secara syariat Islam bahwa NKRI afalah taghut dan wajib dimusuhi secara personal dan kekuatan bersenjata.
"Saya 25 tahun menghabiskan waktu bersama para petinggi, Mas. Petinggi NII. Belum pernah ada fatwa itu. Jadi perlawanan terhadap NKRI itu warisan daripada zaman dulu, zaman dulu kepada Soekarno. Diwariskan tanpa ucapan sepayah kata pun. Ini penting untuk kita renungkan," kata dia.
"Kemudian saya hampir 40 tahun menghabiskan waktu di Al Jamaah Islamiyah, belum pernah ada satu pun fatwa syar'i yang menyatakan NKRI itu taghut dan harus dimusuhi dengan personal dan kekuatan bersenjata. Belum ada. Kalau anda pernah menemukan, tunjukkam kepada saya. Saya belum pernah menemukan itu," sambung dia.
Senada dengan Abu Rusydan, Parq Wijayanto yang duduk di sebelahnya juga meminta maaf.
Ia menjelaskan selama perjalanannya di internal JI juga telah muncul pemikiran-pemikiran bahwa apa yang mereka lakukan selama ini salah.
Hal tersebut, kata dia, di antaranya karena di sebagian anggota JI kesulitan dan kebingungan mencari legitimasi secara syariat Islam atas aksi teror yang dilakukan selama ini.
Mereka, kata dia, tak mampu menjawab alasan syariat Islam mana yang membenarkan aksi-aksi teror yang dilakukan oleh anggotanya selama ini.
"Dari mulai WTC (bom World Trade Center tahun 2001 di mana anggota JI, Hambali diduga terlibat) itu ada bantahannya. Kemudian Bom Bali juga ada pembahasannya. Masalah radikalisme juga ada bantahannya. Apalagi masalah kekerasan tadi, betul-betul kita nggak bisa menjawab terkait dengan Syar'inya (syariat)," kata dia.
"Artinya itu adalah sesuatu bentuk yang kita anggap keliru, atau kita anggap sesuatu yang batil. Batil itu artinya dalam satu tafsir disebutkan definisinya batil ini adalah satu perbuatan yang pelakunya itu dicela," sambung dia.