Kedua, kata Uli, Komnas HAM merekomendasikan Menteri ATR BPN untuk tidak menerbitkan HPL (hak pengelolaan atas tanah) di lokasi Pulau Rempang mengingat lokasi tersebur belum clear and clean.
Ketiga, lanjut Uli, Komnas HAM RI menyampaikan bahwa penggusuran harus sesuai dengan prinsip-prinsip HAM sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) jo. Komentar Umum Nomor 7 tentang KIHESB.
Dalam aturan tersebut, kata Uli, pertama menyatakan kebijakan penggusuran paksa hanya dilakukan sebagai upaya terakhir setelah mempertimbangkan upaya-upaya lain.
Kedua, lanjut dia, apabila terpaksa melakukan penggusuran paksa, pemerintah dan/atau korporasi wajib melakukan asesmen dampak penggusuran paksa dan kebijakan pemulihan kepada warga yang terdampak.
Ketiga, kata Uli, pemerintah dan/atau korporasi wajib memberikan kompensasi dan pemulihan yang layak kepada warga terdampak sesuai prinsip-prinsip HAM.
Keempat, proses penggusuran harus sesuai standar Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Ia juga menjelaskan ada tiga instrumen yang harus diperhatikan ketika melakukan penggusuran yaitu musyawarah mufakat, pemberitahuan yang layak, dan relokasi sebelum penggusuran dilakukan.
Selain itu, kata dia, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika proses penggusuran dilakukan yaitu perlindungan prosedural, tanpa intimidasi dan kekerasan, serta mengerahkan aparat secara proporsional.
"(Sikap) Keempat, pemerintah harus melakukan dialog dan sosialisasi yang memadai dengan cara pendekatan kultural dan humanis atas rencana pengembangan dan relokasi sebagai dampak pembangunan PSN," kata Uli.
Kelima, kata dia, negara tidak boleh melanggar hak atas tempat tinggal yang layak, baik melalui tindakan maupun kebijakan yang diambil, baik tingkat lokal maupun nasional terkait dengan penolakan masyarakat Pulau Rempang untuk direlokasi.
Kebijakan Negara, lanjut dia, tidak boleh diskriminatif dan menimbulkan pembatasan tanpa dasar hukum yang sah, eksklusif dan tidak proporsional.
Negara tidak boleh melakukan relokasi paksa (forced evictions) yang merupakan bentuk pelanggaran HAM.
"(Sikap) keenam, (pemerintah) tidak boleh menggunakan cara kekerasan dengan pelibatan aparat berlebih (excessive use of power) dalam proses relokasi dan proses pembangunan Kawasan Pulau Rempang Eco City," kata dia.
Ketujuh, lanjut dia, kepolisian agar mempertimbangkan menggunakan keadilan restoratif dalam penanganan proses pidana kasus Pulau Rempang.
"Kedelapan, kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, disabilitas, masyarakat adat harus dilindungi dari kekerasan dan lainnya di Pulau Rempang," sambung dia.