3. Perlu pembentukan UU tentang Etika Berbangsa dan Bernegara dan Mahkamah Etika Nasional. Keduanya menjabarkan 6 substansi etika dalam TAP MPR 6/2001 dan infrastruktur pendukungnya.
B. Politik dan Kebijakan:
1. Pembentukan sistem yang terpisah antara peradilan hukum dan peradilan etika
sehingga tidak terjadi fenomena peradilan hukum mengoreksi dan mendistorsi putusan peradilan etika seperti yang terjadi pada kasus penetapan sanksi etis oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianulir putusannya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
2. Mengkonseptualisasi sistem etika pejabat publik mulai dari etika penyelenggara negara sampai pada organisasi profesi, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi sosial keagamaan, organisasi politik, lembaga pendidikan, organisasi kebudayaan, dunia usaha, serta para pemangku kepentingan dalam segala aspek kehidupan masyarakat di Indonesia.
3. Mengembalikan politik dan kebijakan berbasis intelektualitas dengan pelibatan para intelektual, scholars, cendekiawan, bukan kebijakan berbasis viralitas dan hegemoni para buzzer.
4. Memberantas pemborosan impor dan kapitalisasi sumber daya pangan secara besar-besaran yang membunuh produksi dalam negeri dan kesejahteraan produsen dalam negeri karena imbalan ekonomi dari importir asing yang diberikan kepada para elit politik.
5. Perlu adanya sinergi dan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat untuk membahas isu-isu lingkungan hidup dan sumber daya alam seperti pemanasan global, eksploitasi tanah, bahan bakar fosil dan lain sebagainya.
6. Perlu mengembangkan daya kritis masyarakat sebagai upaya pengawasan terhadap pemerintah dan penyelenggara negara, jangan ada pengkultusan terhadap pemimpin sehingga rakyat membabi buta dalam penghambaan diri terhadap pimpinan dengan harapan balas budi dari pemimpin.
7. Pemiskinan sosial secara sistemik perlu dihentikan, jangan sampai ada sekelompok orang yang karena terlalu kaya bisa membeli suara mereka yang terlalu miskin.
8. Perlu sinergi antara aktivisme sosial, hukum dan digital sehingga terhubung antara issue dan sector sebagai upaya sinergitas dan pendekatan sistematis yang tidak sporadis dalam menghadapi kenyataan-kenyataan sosial dalam masyarakat.
9. Pemberian hukuman berupa pencabutan hak-hak politik tanpa toleransi dan pembatasan hak-hak keperdataan kepada koruptor sehingga meminimalisir akses koruptor untuk tampil dan berkontestasi menjadi pejabat publik.
C. Bidang Pendidikan:
1. Meningkatkan efektivitas bonus demografi dengan perbaikan kualitas generasi emas melalui pembekalan pada kompetensi kognitif dan afektif (etika dan moralitas) secara integral.
2. Perlunya pendidikan kritis dan reflektif yang membangun kepercayaan terhadap nilai-nilai yang lebih objektif, terbuka dan memancing dialektika dibandingkan kepercayaan absolut membabi buta terhadap orang/individu atau buzzer. Konsekuensinya adalah terjalin hubungan yang egaliter dan terciptanya kebebasan mimbar akademik di universitas, sekaligus memulihkan makna kepakaran.
D. Partai Politik dan Sistem Pemilu:
1. Revisi UU Partai Politik untuk mengakomodir Sistem Integritas Partai Politik (SIPP), menegakkan desentralisasi politik, dan mengembalikan kedaulatan anggota partai.
2. Reformasi sistem pendanaan politik melalui alokasi anggaran negara yang lebih
transparan dan akuntabel untuk pembiayaan parpol guna menopang program kaderisasi, rekruitmen politik melalui pemilihan internal, serta penerapan syarat minimal sebagai kader selama waktu tertentu untuk pengisian jabatan politik.
3. Kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah undang-undang menuju koherensi dan konsistensi pengaturan hukum pemilu di Indonesia.
4. Evaluasi sistem pemilu dan model keserentakan pemilu. Pemilu dilakukan dengan
dua model keserentakan: Pemilu Serentak Nasional (memilih presiden dan wakil
presiden, anggota DPR, serta anggota DPD) dan Pemilu Serentak Lokal (memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota), dengan masa jeda 2 (dua) tahun. Agar mesin partai selalu bekerja serta pemilih bisa mengevaluasi kinerja partai dan elite politik secara berkesinambungan.
5. Menetapkan ambang batas jumlah anggota pendukung koalisi partai hingga tidak tercipta oligarki politik yang membahayakan proses berpolitik dan pengambilan kebijakan yaitu dengan ambang batas paling besar 60?ri seluruh partai politik yang mengisi parlemen.
6. Pengesahan UU Pembatasan Transaksi Uang Kartal untuk memotong mata rantai jual beli suara di pemilu dan pilkada.
7. Rekonstruksi persyaratan ambang batas pencalonan presiden untuk mengurangi dan menghilangkan hambatan dalam pencalonan dan menghadirkan kontestasi elektoral yang lebih inklusif.
8. Mengatur masa transisi kepemimpinan nasional (lame duck period) guna mencegah kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan pada masa transisi pasca pemilu nasional. Masa jeda antara hasil pemungutan suara dan pelantikan calon terpilih dibuat tidak terlalu lama.
9. Partai-partai politik diharapkan memprioritaskan kader-kader yang memahami persoalan daerah dan mewakili daerahnya dalam sistem meritokrasi.
E. BPIP:
1. Tidak optimalnya badan kehormatan dan dewan etik pada berbagai lembaga negara mendorong BPIP untuk menginisiasi rancangan UU Etika yang merumuskan pokok-pokok etika secara materil hingga instrumen formilnya, seperti sistem penegakan hukum pada peradilannya hingga sanksi yang dikenakan.
2. BPIP perlu melakukan pembinaan ideologi Pancasila dan bela negara baik kepada kepada para pekerja migran, pelajar/mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri, dan WNI lainnya yang tinggal di luar negeri maupun masyarakat Indonesia yang ingin kembali ke Indonesia, untuk memastikan WNI tersebut tidak terpengaruh oleh ideologi-ideologi asing/transnasional.
3. Perlu dilakukan Pembinaan dan Pendidikan Pancasila bagi seluruh ASN secara
berjenjang dan berkelanjutan.
4. Perlu melakukan kajian terkait implementasi dari substansi pasal 30 UUD NRI Tahun 1945 tentang Bela Negara dalam konteks pembinaan ideologi Pancasila di segala lapisan masyarakat Indonesia.
5. BPIP perlu mendorong pembumian Pancasila dalam konteks budaya hukum dan independensi peradilan agar semangat kesetaraan yang diusung dalam Pancasila dan solidaritas seluruh rakyat bisa menjadi pintu masuk untuk meningkatkan integritas penegak hukum dan independensi lembaga peradilan.