News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Etika Berbangsa dan Bernegara Harus Ditegakkan Cegah Upaya Pelemahan Hukum

Penulis: willy Widianto
Editor: Erik S
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini menjadi anggota DPD RI Jimly Asshiddiqie di Gedung DPR/MPR/DPD RI, Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/5/2024). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Hukum itu ibarat sebuah kapal, etika adalah samuderanya. Maka kapal hukum tidak mungkin berlayar mencapai tepian pulau keadilan jikalau samuderanya kering.

Begitu adagium yang disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008, Jimly Asshiddiqie. Menurut Jimly adagium tersebut membawa pesan yang mendalam mengenai korelasi antara etika dan hukum.

Etika kata dia menjadi hulu dari segala problematika terdegradasinya budaya hukum yang berkeadilan, sehingga pada hilirnya terjadi kemerosotan negara di segala aspek, baik aspek demokrasi, sosial, politik maupun perekonomian.

Baca juga: Tingkatkan Kualitas SDM, Mahasiswa Indonesia Belajar Sistem Hukum dan Ekonomi di Jepang

“Sekarang salah satu isu yang paling banyak dibicarakan orang soal etika ini. Ini momentum melakukan pembenahan. Sejak 2009 saya sudah promosikan pentingnya menata sistem etika berbangsa dan bernegara ini,” kata Jimly saat diskusi kelompok terpumpun (FGD) Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara dengan tema Budaya Hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis(19/9/2024).

Manusia sebagai penggerak hukum menurut Jimly harus dipastikan telah bersih dari nilai-nilai nir etika jika ingin mewujudkan cita-cita budaya hukum yang berkeadilan.

Sebaliknya budaya hukum yang rapuh dan runtuh disebabkan oleh penggerak hukumnya yang tidak lagi membawa nilai-nilai etika dan moralitas, sehingga sistem hukum yang diibaratkan dengan sebuah kapal tidak mampu mencapai dermaga keadilan yang dicita-citakan.

"Beberapa problematika budaya hukum yang disebabkan oleh perilaku penyelenggara negara yang nir etika tersebut adalah sistem politik yang mengarah pada otoritarianisme," kata dia.

Sistem politik otoritarianisme tersebut dapat menjebak penyelenggaran negara pada sikap penghambaan kepada presiden, yang terungkap dengan digunakannya istilah “raja” oleh elite politik.  Sikap penghambaan kepada presiden seperti ini mengakibatkan minimnya pengawasan dan kontrol.

Menurut Pengamat Politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, lembaga parlemen (legislatif) jauh dari efektif, karena hanya menjadi alat penguasa (eksekutif) juga menjadi stempel (rubber stamp) terhadap keputusan eksekutif. Penyalahgunaan konsep politik kekeluargaan, yang direduksi secara sempit sebagai bagi-bagi kue kekuasaan, menyandera mereka yang berseberangan dan kritis terhadap kekuasaan.

“Paling fatal ialah problem otokrasi legalisme, atau kondisi ketertutupan sistem politik terkait upaya manipulasi hukum. Bisa disebut juga dengan despotisme baru. bagaimana pemimpin berupaya untuk menempatkan dirinya lebih tinggi dari kekuasaan lain dengan cara manipulasi atau upaya mempermainkan hukum atas nama menghancurkan rule of law itu sendiri,” kata Airlangga Pribadi.

Menurutnya, dengan menggunakan hukum sebagai instrumen penekan dan pembenar keinginan rezim yang sedang berkuasa, elit politik tidak lagi berdaya untuk berperan sebagai oposisi. Resultante dari kekisruhan etika dan tekanan politik seperti ini bermuara pada budaya oligarki dalam peri kehidupan berpolitik, bernegara dan berbangsa.

Baca juga: Jimly Asshiddiqie Sebut Negara Punya Tanggung Jawab soal Kisruh Dualisme di Kadin

"Problematika ini pada akhirnya merambat pada kehidupan demokrasi yang cukup serius, diantaranya pembatasan dan ancaman terhadap diskusi akademis di kampus-kampus, pembatasan kontestasi pemilu dengan penerapan threshold yang tinggi sehingga menciptakan koalisi gemuk," ujarnya.

Praktik politik kolutif seperti ini menyebabkan sistem demokrasi hanyalah bersifat prosedural, semakin menjauh dari demokrasi substantif yang seharusnya mengandung unsur representasi publik, rule of law, right and responsibility, dan partisipasi publik.

“Sistem pemilu kita melemahkan budaya politik dan budaya hukum sekaligus karena memang begitu rumit, mahal, sibuk dan juga tidak sempat bicara politik gagasan dan akhirnya menjauhkan akses politik minoritas dan marjinal,” ujar Titi Anggraini, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang juga dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini