Terkait hal ini, Harvey Moeis pun mengakui bahwa yang memiliki inisiatif mengumpulkan dana CSR tersebut adalah dirinya sendiri.
Hanya saja kata Harvey, PT Refined Bangka Tin (RBT) yang ia wakili tak turut menyumbangkan dana CSR yang telah disepakati tersebut.
Pasalnya ucap Harvey, PT RBT telah memiliki program tersendiri yang sudah dijalankan sebelum adanya kerja sama dengan PT Timah.
"Yang kerja sama dengan PT Timah kan 5. Apakah lima-limanya punya komitmen yang sama untuk pembayaran?" tanya Jaksa.
"Saya ada sampaikan ke Pak Suparta juga. Ketika itu pak Suparta tidak ikut di rapatnya. Saya sampaikan saya bilang: Kita dapat amanah seperti ini, saya ada ide kayaknya kita mau adopsi programnya RBT, reklamasi berkelanjutan untuk lingkungan. Ketika itu pak Suparta bilang: Oke, bagus. RBT jalan sendiri. Karena RBT yang sedang menjalankan program itu pak. Jadi RBT tidak ikut pak," jelas Harvey.
Hingga akhirnya terkait urunan dana CSR itu pun kata Harvey hanya diikuti 4 smelter swasta di mana masing-masing sepakat membayar 500 USD per ton dari hasil pengolahan logam timah.
Sebagai informasi, dalam perkara ini Harvey Moeis secara garis besar didakwa atas perbuatannya mengkoordinir uang pengamanan penambangan timah ilegal.
Atas perbuatannya, dia dijerat Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP terkait dugaan korupsi.
Selain itu, dia juga didakwa tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait perbuatannya menyamarkan hasil tindak pidana korupsi, yakni Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.