TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menagih komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ia mengharapkan Presiden Prabowo dapat menuntaskan kasus korupsi yang lama mandek di penegak hukum. Di antaranya dugaan korupsi Payment Gateway Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang mandek selama 10 tahun.
Fickar merujuk pada pidato perdana Prabowo setelah dilantik pada 20 Oktober 2024, yang menekankan pemberantasan korupsi.
Menurutnya, penuntasan kasus korupsi yang mandek itu menjadi bukti komitmen presiden terhadap upaya pemberantasan korupsi.
“Yang penting adalah implementasi dalam program-program kerja pemerintahan. Jika ada indikasi korupsi, harus segera diproses secara pidana,” kata Fickar dalam keterangannya, Sabtu (26/20/2024).
Ia menekankan, siapa pun yang terbukti melakukan korupsi atau memiliki indikasi kuat harus diproses hukum, terutama untuk menghindari dan mengembalikan kerugian negara terkait penyalahgunaan jabatan.
Baca juga: Zarof Ricar jadi Makelar Kasus Selama 10 Tahun, KPK Minta MA Beri Perhatian Khusus
Kasus Payment Gateway Kemenkumham kembali mencuat setelah eks Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, menyebut di situsnya bahwa status tersangkanya akan genap 10 tahun pada Februari 2025.
Pada Maret 2023, Andi Syamsul Bahri, pelapor dugaan korupsi, mengeluhkan perkembangan kasus yang stagnan, dan hingga kini belum ada tanda-tanda kelanjutan penanganan perkara tersebut.
Fickar menyarankan pihak yang tidak puas dengan kondisi ini untuk mengajukan gugatan praperadilan agar kasus ini dapat dilanjutkan.
“Bagi yang berkepentingan dan tidak puas, silakan ajukan upaya hukum praperadilan,” ujarnya.
Seperti diketahui, Denny Indrayana ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri pada 2015 dalam kasus dugaan korupsi Payment Gateway.
Kasus ini ditangani pada era Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Denny diduga menginstruksikan rujukan kepada dua vendor proyek Payment Gateway, serta memfasilitasi operasional sistem tersebut.
Dua vendor yang dimaksud adalah PT Nusa Inti Artha (Doku) dan PT Finnet Indonesia.
“Satu rekening dibuka atas nama kedua vendor. Uang disetorkan ke rekening itu, kemudian baru disetorkan ke Bendahara Negara. Ini melanggar aturan, seharusnya langsung ke Bendahara Negara,” ujar Kepala Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Anton Charliyan pada 25 Maret 2015.
Baca juga: Prabowo Ultimatum Ketua Umum Partai Politik: Jangan Tugaskan Menteri untuk Cari Uang dari APBN!