TRIBUNNEWS.COM, AZERBAIJAN - Pemerintah Indonesia menunda peluncuran komitmen
penurunan emisi karbon terbaru melalui dokumen Second Nationally Determined Contributions
(NDC) pada konferensi perubahan iklim dunia yang sedang berlangsung di kota Baku, Azerbaijan.
Dokumen Second NDC yang telah dipersiapkan sejak Februari 2024 lalu oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedianya meluncur pada COP29 di Baku, Azerbaijan.
Ini adalah dokumen keempat yang Indonesia serahkan ke UNFCCC.
Namun rencana tersebut ditunda.
Salah satu alasan penundaannya adalah, dokumen tersebut perlu disesuaikan dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen dan arahan pemerintahan baru.
Beberapa organisasi masyarakat sipil Indonesia yang hadir di perundingan Baku mengingatkan agar dokumen Second NDC tersebut sebaiknya bisa lebih ambisius dari rancangan dokumen yang sebelumnya telah beredar.
Menurut Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, dokumen Second NDC yang targetnya diserahkan pada Februari tahun 2025, harus mencakup pemihakan yang jelas terhadap hak asasi manusia, hak masyarakat adat, dan transisi energi yang berkeadilan.
“Tidak cukup hanya menghormati masyarakat adat atas pengetahuan saja, tapi juga harus eksplisit menyebut hak tanah masyarakat adat karena pengetahuannya ada di alam dan tanahnya. Bukan di buku,” kata Torry, pada Kamis (21/11/2024).
Iqbal Damanik, Forest Campaigner Greenpeace Indonesia, mengatakan, seharusnya jika Indonesia submit Second NDC di momen COP ini, akan memperjelas target dan kebutuhan pendanaan iklim Indonesia.
Sebagai negara yang rentan dan terdampak krisis iklim, kepemimpinan Indonesia sangat dibutuhkan.
“Sayangnya, di COP 29 ini Indonesia malah sibuk mempromosikan potensi kredit karbon, yang bukan termasuk pendanaan iklim secara publik. Ruang fiskal Indonesia sempit jika berharap pada pendanaan karbon ini - dana tidak masuk ke publik, tapi lebih berat ke swasta,” katanya.
Di sisi lain, tambah Iqbal, tanpa ada kesepakatan pada penurunan emisi, pasar karbon akan menjadi risiko memberikan hak berpolusi.
Padahal Indonesia butuh pendanaan iklim besar-besaran untuk membangun pembangkit listrik energi terbarukan, dan memulihkan daerah-daerah yang telah terdampak bencana akibat krisis iklim (loss and damage).
Sebelumnya Staf Ahli Menteri Bidang Ekologi dan Sumber Daya Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Hendra Yusran Siry dalam diskusi Paviliun Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29) Azerbaijan mengatakan saat ini Indonesia dalam persiapan akhir dokumen Second NDC untuk diserahkan pada Februari tahun depan.