Namun Syaharani menyayangkan bahwa prinsip keadilan dan hak asasi manusia masih belum nampak.
Misalnya, setiap negara belum sepakat prinsip-prinsip transisi berkeadilan bersama untuk mencapai target penurunan emisi 1.5 yang ambisius, yang dapat dipakai dalam dokumen NDC dan strategi iklim jangka panjang.
Juga, belum disebutkan secara eksplisit penghormatan hak asasi manusia dan masyarakat rentan.
Belum ada keputusan eksplisit hasil negosiasi untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip transisi yang berkeadilan ke dalam semua dokumen strategis dan turunannya.
Pernyataan tegas baru sampai pada penyebutan fase keluar dari bahan bakar fosil.
Padahal, menurutnya, ini penting bagi Indonesia yang banyak mengalami kasus-kasus hak asasi manusia dan ketidakadilan dalam transisi energi.
“Semoga dengan sisa waktu negosiasi yang sempit ini, delegasi Indonesia bisa lebih kuat dari negara maju untuk mendorong arah transisi yang berkeadilan dan komitmen penegakan hak asasi manusia,” kata Syaharani.
Iqbal menambahkan, Indonesia harusnya mengambil kesempatan menjadi komandan dari negara-negara kepulauan yang paling terdampak akibat krisis iklim.
Inilah kesempatan mendesak negara maju untuk memberikan pendanaan iklim kepada negara berkembang.
“Hutan tak boleh dieksploitasi lagi. Kami mendesak seluruh pemimpin dunia terutama Indonesia untuk bertindak dan memberi bantuan langsung ke masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini telah melindungi dan memulihkan hutan,” kata Iqbal.