Sorotan lain datang dari tekanan publik terhadap moral hakim dalam menangani kasus ini. Prof. Romli menilai bahwa situasi ini menjadi tantangan berat, terutama bagi lembaga lembaga hakim penindak kasus tipikor.
“Hakim sering dihadapkan pada dilema. Dibebasin salah, enggak dibebasin dosa ke atas kan. Kita lihat saja nanti masuk surga apa neraka dia,” pungkasnya.
Sementara itu, Ahli tindak pidana dan korporasi Prof Jamin Ginting mengatakan dalam kasus korupsi di PT Timah Tbk, dengan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun lebih tepat masuk ranah administrasi yang menggunakan UU Minerba dan Lingkungan Hidup, ketimbang menjeratnya dengan UU Tipikor.
“Dalam konteks penggunaan perhitungan kerugian negara menggunakan UU Lingkungan Hidup sebenarnya telah diatur sanksi administrasi dan pidananya, jadi mengapa bisa harus menggunakan undang-undang korupsi di sana," ujar Jamin Ginting di PN Tipikor Jakarta Pusat, Senin (25/11/2024).
"Karena UU 32 tentang pengelolaan lingkungan hidup tak ada satupun pasal yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi, maka perkara ini harus ditarik ke ketentuan pidana lingkungan hidup," ucapnya lagi
"Jadi tidak ada tindak pidana korupsi dalam hal itu, kecuali jika terbukti adanya suap dalam pengurusan izin-izin atau lainnya barulah mengacu pada UU korupsi,” lanjutnya.
Dosen Universitas Pelita Harapan ini juga menilai tindakan jaksa dalam menggunakan peraturan Menteri KLHK No 7 dan UU Lingkungan Hidup dalam menghitung kerugian negara di kasus korupsi timah ini pun kurang tepat, karena dalam UU Lingkungan Hidup itu dinyatakan bahwa yang berwenang yang melakukan penyidikan adalah kepolisian dan PPNS, sehingga dalam perkara ini penyidik kejagung telah mengambil kewenangan tersebut.
“Berdasarkan ketentuan KUHAP, baik di pasal 6 maupun 7 sangat jelas disebutkan bahwa yang dimaksud penyelidik adalah Kepolisian Republik Indonesia dan yang dimaksud dengan penyidik adalah polisi dan PPNS," ucapnya.
"Jadi tidak ada disebutkan kejaksaan, seharusnya kewenangan itu adalah penyidik PPNS dan kepolisian," imbuhnya.
"Inilah kelemahan hukum kita, semua mau jadi penyidik, maka Jaksa juga mau ikut jadi penyidik,” lanjut Jamin Ginting.
"Dengan demikian, penerapan pasal tindak pidana korupsi sebenarnya tidak relevan di sini, karena yang berlaku hanyalah ketentuan dari UU Lingkungan Hidup, bukan UU Tipikor," katanya.
Menurut Jamin Ginting, penyidik Kejagung jangan hanya berfokus pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, karena ada keberadaan pasal-pasal lainnya seperti Pasal 5, 6, 7, dan 8 seolah yang juga diperlukan.
"Kita perlu melakukan koreksi terhadap hal ini. Artinya, undang-undang kita perlu dibenahi, begitu juga dengan cara penegakan hukum, agar tidak semua tindak pidana korupsi hanya dilihat dari Pasal 2 dan Pasal 3 saja, masih ada banyak pasal lain yang perlu dieksplorasi lebih jauh," tegasnya.
Sumber: Warta Kota