Tapi kata Suwito setelah swasta membuka smelter mereka melakukan pembayaran lagi.
Bijih Timah barang strategis menjadi barang yang diawasi saja.
"Sejak itulah kita ikut," ucapnya.
Kemudian ditanyakan kuasa hukum apakah di IUP PT Timah masih terjadi tumpang tindih sengketa.
"PT Timah melepas IUP-IUP mereka sebagai besar itu daerah-daerah yang miskin atau bekas-bekas tambang. Dulu kakek saya menggunakan cangkul dan pengki namanya untuk menambang. Setelah perkembangan zaman ada alat berat daerah dalam baru dikerjakan," kata Suwito.
"Sewaktu saya kerja sebagai kontraktor Bangka Tin harga timah 3.000 dollar per ton. Sekarang 30.000 per ton," terangnya.
Suara Suwito lalu terdengar lirih, kemudian ia mengelap air matanya dengan tisu.
"Dengan kenaikan harga, daerah miskin dan daerah bekas tambang pun di tambang orang kembali. Masyarakat kita itu tidak lebih tidak kurang mengais timah. Tidak ada masyarakat, tidak akan ada timah ini terjadi," ungkapnya.
Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.
Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.
Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.