Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga (UNAIR), Henri Subiakto, menjelaskan alasan mengapa sanksi dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) lebih berat dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurutnya, pelanggaran melalui dunia siber memiliki dampak yang lebih luas dan destruktif karena sifatnya yang tanpa batas (borderless) dan dapat diulang-ulang.
"Konten-konten komunikasi cyber ini dapat bersifat destruktif, bisa berulang ulang sehingga akibatnya lebih buruk dibandingkan kalau di dunia fisik," ujar Henri dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (17/12/2024).
Sebagai ilustrasi, Pasal 310 KUHP mengatur tindak pidana pencemaran nama baik dengan ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Sementara itu, Pasal 27A UU ITE mengatur hal serupa namun dengan ancaman pidana yang lebih berat, maksimal dua tahun penjara.
Sebelumnya ancaman dalam Pasal 27 Ayat 3 sebelum revisi justru lebih tinggi yakni pidana penjara paling lama 4 tahun.
"Makanya undang-undang ITE biasanya memberikan sanksi yang cukup lebih tinggi," tuturnya.
Sebagai informasi, pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebelumnya mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik dapat dipidana dengan penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Dalam revisi UU ITE yang terbaru, ketentuan mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik ini telah dipindahkan ke Pasal 27A. Perubahan ini dilakukan untuk menyelaraskan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, dengan tujuan memberikan kepastian hukum yang lebih jelas dan detail.
Adapun subakti menjadi saksi untuk dua sidang sekaligus yang diregister dalam perkara nomor 105/PUU-XXII/2024 dan 115/PUU-XXII/2024.
Perkara 105 diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, seorang aktivis lingkungan dari Koalisi Kawal Indonesia Lestari (KAWALI).
Pemohon merasa menjadi korban pasal-pasal "karet" dalam UU ITE setelah ia ditahan atas unggahan video di Facebook yang menunjukkan pencemaran lingkungan di salah satu pantai di Karimun Jawa.
Video itu menuai berbagai reaksi, meskipun tidak ditujukan kepada individu tertentu atau bertujuan menimbulkan kebencian.
Pemohon dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jepara berdasarkan UU ITE 2016.
Meski Pengadilan Tinggi Semarang membebaskannya pada Mei 2024, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi.
Pemohon khawatir kasusnya akan diadili dengan UU ITE versi terbaru (2024), yang ia nilai tidak memberikan kepastian hukum, terutama terkait frasa “orang lain” dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (4).
Sementara perkara 115 diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar, seorang jaksa yang diproses hukum atas kritik di media sosial terhadap penyelenggara negara.
Pemohon merasa pasal-pasal dalam UU ITE, khususnya terkait frasa "kepentingan umum," membuka peluang kriminalisasi terhadap kritik yang konstruktif.
Ia menilai hal ini bertentangan dengan hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945.
Melalui perkara ini, Pemohon meminta MK untuk menafsirkan ulang frasa-frasa dalam UU ITE dan KUHP agar melindungi hak masyarakat dalam memberikan kritik terhadap penyelenggara negara, khususnya untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.