TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus penganiayaan terhadap anak berusia 12 tahun berinisial KM di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, menarik perhatian serius dari berbagai kalangan, termasuk praktisi hukum.
KM diduga menjadi korban kekerasan sekelompok warga setelah dituduh mencuri, termasuk pakaian dalam.
Peristiwa ini mencerminkan isu mendalam mengenai perlindungan anak dan hak asasi manusia.
Prof Dr Henry Indraguna, seorang praktisi hukum, menegaskan bahwa anak dalam situasi apapun tetap memiliki hak hukum.
"Anak tidak sepantasnya menjadi sasaran kekerasan," ujarnya saat dihubungi di Jakarta pada Senin, 23 Desember 2024.
Ia mengapresiasi pihak kepolisian yang telah menangkap delapan pelaku penganiayaan, namun menekankan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan warga, termasuk Ketua RT, sangat bertentangan dengan hukum dan nilai-nilai kemanusiaan.
Henry menekankan pentingnya membedakan antara kenakalan anak dan kejahatan.
Ia mengingatkan bahwa masyarakat Jawa memiliki tradisi penyelesaian konflik yang lebih bijak.
"Dalam tradisi Jawa, jika ada anak mencuri, pemilik barang biasanya mendatangi orang tua anak tersebut untuk memberi pengertian," jelasnya.
Ia juga menyoroti istilah "wirang", yang berarti perasaan malu mendalam sebagai bentuk sanksi sosial, sebagai cara efektif untuk mencegah anak mengulangi tindakan serupa tanpa kekerasan.
Henry menegaskan bahwa kekerasan bukanlah solusi.
"Sebaliknya, itu justru memperburuk situasi, terutama bagi anak yang masih dalam masa perlindungan hukum negara," tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa tindakan mencuri yang dilakukan KM mungkin terkait dengan masalah psikologis atau keluarga.
Sebagai informasi, Polres Boyolali Jawa Tengah, telah menangkap delapan tersangka terkait kasus penganiayaan terhadap seorang bocah, KM, 12 tahun, di Kecamatan Wonogsegoro, Boyolali, yang dituduh mencuri pakaian dalam.