Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPP PDIP turut merespons soal keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus aturan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold 20 persen.
Ketua DPP PDIP Said Abdullah menyatakan PDIP ada pada posisi menghormati dan tunduk patuh pada apa yang sudah menjadi ketetapan MK.
"Atas putusan ini, maka kami (DPP PDIP) sebagai bagian dari partai politik sepenuhnya tunduk dan patuh, sebab putusan MK bersifat final dan mengikat," kata Said dalam keterangan tertulisnya, Kamis (2/1/2025).
Dalam pertimbangan putusannya, MK memerintahkan pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR untuk mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak.
Hal itu diketahui berpotensi merusak hakikat pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.
"Atas pertimbangan dalam putusan amar di atas, tentu kami akan menjadikannya sebagai pedoman nanti dalam pembahasan revisi undang-undang pemilu antara pemerintah dan DPR," kata Said.
Baca juga: MK Hapus Presidential Threshold, Perludem: Fenomenal, Sudah Dinanti Cukup Panjang
Lebih lanjut, Said juga merespons soal putusan MK yang menyatakan perlu adanya rekayasa konstitusional dalam pertimbangan keputusan.
Kata Said, perintah dari MK itu juga dapat dilakukan pihaknya di DPR RI dengan mengatur syarat calon presiden dan wakil presiden agar memenuhi beberapa aspek.
Terutama kata dia, yakni aspek kepemimpinan, pengalaman dalam peran publik, pengetahuan tentang kenegaraan, serta rekam jejak integritas.
Hal itu penting kata Ketua Badan Anggaran DPR RI tersebut, agar penggunaan hak dari semua partai untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden memenuhi aspek yang bersifat kualitatif yang dimaksudkan.
Baca juga: Tanggapan KPU RI soal Putusan MK Hapus Presidential Threshold
"Pengujian syarat aspek aspek yang bersifat kualitatif terhadap bakal calon presiden dan wakil presiden dapat di lakukan oleh unsur dari perwakilan lembaga lembaga negara, dan perwakilan tokoh masyarakat sebagai bagian syarat sahnya penetapan calon presiden dan wakil presiden oleh KPU," ujar dia.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya diatur parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya.
Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan sejumlah mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.
MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan Pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.
Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.
Selain itu setelah mempelajari arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.
Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.
Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.
Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong. Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan Pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.