Dikutip dari ilmuhukum.uin-suka.ac.id, Faisal menyatakan bahwa ketentuan Presidential Threshold sebesar 20 persen telah mereduksi nilai demokrasi dengan mempersempit peluang calon presiden hanya untuk mereka yang didukung oleh elite partai, sehingga rakyat hanya diposisikan sebagai objek, bukan penentu.
Enika, menambahkan bahwa uji materi ini diajukan pasca-Pilpres 2024 untuk menegaskan bahwa permohonan ini murni sebagai perjuangan akademik dan advokasi konstitusional, tanpa ditunggangi kepentingan politik.
Pada Perkara Nomor 62/PUU-XXI/2024 ini, para pemohon menegaskan bahwa aturan ambang batas presiden telah menjadikan rakyat, yang seharusnya menjadi pemilik demokrasi, hanya sebagai objek, bukan subjek.
Baca juga: Tanggapan KPU RI soal Putusan MK Hapus Presidential Threshold
Dalam petitumnya, mereka meminta kepada MK agar menyatakan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 melanggar batasan open legal policy dan bertentangan dengan prinsip moralitas demokrasi.
Faisal dkk menilai pengajuan permohonan adalah bentuk keberanian untuk memperjuangkan keadilan dan memperkuat demokrasi di Indonesia.
Sebagai akademisi, mahasiswa tidak hanya berperan sebagai manusia pembelajar, tapi juga menjadi agen perubahan.
Pada akhirnya, permohonan Faisal dkk dikabulkan MK pada Kamis (2/1/2025).
(Tribunnews.com/Endra)