TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas atau persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden, yang dikenal dengan istilah presidential threshold, akan membuka peluang bagi calon presiden dari berbagai latar belakang di Indonesia.
Menurut Mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, langkah ini sebagai upaya positif untuk mengawal demokrasi dan konstitusi di Indonesia.
Jimly menekankan bahwa peluang untuk menjadi calon presiden harus inklusif dan tidak terikat pada pembatasan apapun.
"Calon presiden tidak harus selalu orang Jawa. Orang Aceh, Papua, maupun keturunan Tionghoa juga punya hak yang sama untuk maju menjadi capres," tegasnya.
Jimly juga mengusulkan agar tidak ada pembatasan terhadap jumlah calon presiden dalam pemilu.
Ia percaya semakin banyak calon presiden, semakin baik, karena hal ini merupakan ekspresi pluralitas dan demokrasi.
Ia memberikan contoh Rusia pada 2019 yang memiliki 34 calon presiden sebelum akhirnya diseleksi menjadi delapan oleh komisi.
Lebih lanjut, Jimly menekankan pentingnya reformasi dalam sistem politik, khususnya di internal partai politik.
Ia mengusulkan agar partai-partai politik menggelar konvensi internal untuk memilih calon presiden terbaik yang kemudian disepakati melalui negosiasi antarpartai.
Reformasi ini diharapkan dapat memastikan bahwa calon presiden yang diusung benar-benar mewakili aspirasi rakyat.
Terkait dengan putusan MK, Jimly berharap agar keputusan ini dapat mendorong terciptanya demokrasi yang lebih inklusif dan berkualitas.
"Reformasi sistem politik harus menjadi agenda utama untuk memastikan semua warga negara tanpa terkecuali memiliki peluang yang sama dalam pemilihan presiden," pungkasnya.
Peluang Lebih Besar bagi Calon Presiden yang Beragam
Dosen Hukum Pemilu Universitas Indonesia sekaligus Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, juga menyambut positif keputusan MK yang membatalkan Pasal 222 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.