Pasal ini mengatur mengenai ambang batas presidential threshold (PT), yang sebelumnya dianggap membatasi akses bagi calon presiden yang tidak didukung oleh partai besar.
Titi menjelaskan bahwa Pasal 222 pertama kali diterapkan dalam Undang-Undang Pemilu 2008 dan sejak itu telah diuji beberapa kali.
Meskipun PT sebelumnya dianggap sah, Titi menilai keputusan MK yang membatalkan pasal tersebut membuka peluang lebih besar bagi calon presiden yang lebih beragam.
"Putusan MK ini membuka peluang agar pemilu tidak menjadi 'pesta' bagi elit dan oligarki yang selama ini dikuasai oleh ketua umum partai," ujar Titi.
Titi menilai bahwa keputusan MK ini dapat mengurangi dominasi partai besar yang sering kali melahirkan calon presiden yang lebih mengutamakan kekuasaan politik semata.
Proses pencalonan yang lebih terbuka dan inklusif diharapkan dapat menciptakan pemilu yang lebih demokratis.
Reformasi Konstitusional dan Sistem Politik yang Lebih Terbuka
Titi juga membahas pentingnya rekayasa konstitusional yang demokratis dan partisipatif untuk memastikan bahwa sistem pencalonan presiden tetap inklusif dan tidak terjebak dalam kontrol elit partai.
Ia mengusulkan agar batasan minimal yang diperlukan untuk mengusung calon presiden tidak hanya menguntungkan partai besar.
Menurutnya, ambang batas maksimal untuk pencalonan presiden sebaiknya ditetapkan pada 50 persen suara partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu.
Lebih lanjut, Titi menekankan bahwa perubahan ambang batas tidak hanya berlaku untuk pemilu presiden, tetapi juga untuk pemilu legislatif dan pilkada.
Ia mengusulkan agar jika ambang batas parlemen dihapuskan, hal tersebut harus diikuti dengan penghapusan ambang batas di pilkada.
"Ini dapat membuka ruang bagi lebih banyak calon kepala daerah dan presiden yang benar-benar mewakili kepentingan masyarakat," ungkap Titi.
Titi juga mengingatkan agar sistem pencalonan tetap berfokus pada penyelenggaraan pemilu yang lebih transparan dan akuntabel.