Sebuah batalyon yang mengemban peran, fungsi, dan tugas pokok memberikan perlindungan udara terhadap objek vital maupun titik rawan.
Di batalyon itu, Haryanto ditugaskan sebagai pengemudi. Ya, sopir batalyon.
"Saya dididik jadi pengemudi. Tugas saya mengangkut alat-alat berat, meriam, beras untuk logistik dan perminyakan," kenang Haji Haryanto.
Ingin tahu berapa gaji seorang prajurit dua (Prada) tahun 1979? “Sekitar delapan-belas-ribu rupiah per bulan,” ujar Haryanto.
Sebagai pengemudi batalyon, sehari-hari bergulat dengan kendaraan bermotor. Ia pun belajar tentang teknik mesin di bengkel batalyon. Pengetahuannya tentang seluk-beluk kendaraan bermotor pun ia kuasai.
Memanfaatkan jam kosong di luar dinas, Haryanto mulai berpikir tentang mencari tambahan penghasilan.
Satu-satunya pekerjaan yang kuasai dengan baik adalah mengemudi. Maka, ia pun bekerja sambilan sebagai sopir angkot.
Dengan gaji prajurit ditambah penghasilan tambahan sebagai sopir angkot, tahun 1982 Haryanto memberanikan diri membangun rumah tangga.
Ia meminang wanita pujaan hati, Suheni (pasangan ini dikaruniai tiga putra dan tujuh cucu). Hj Suheni meninggal dunia 22 April 2014. Selang beberapa tahun kemudian Haryanto menikahi Nurhana, sinden dan penyanyi campursari kondang-red).
Kembali ke kisah Haryanto muda. Usai menikah, lazim jika kebutuhan keluarga jadi bertambah.
Dengan gaji tentara serta tambahan sebagai sopir angkot, tak jarang ia harus gali lubang utang, sekadar bisa membayar sewa kontrakan yang berukuran 3x4 meter.
Himpitan ekonomi, justru melecut tekad Haryanto untuk bekerja lebih gigih. Tuhan menyukai hambanya yang bekerja keras, nyata adanya.
“Saya mulai bisa menabung. Kadang sepuluh ribu per hari, kadang lebih, kadang kurang, tergantung rezeki yang saya dapat,” ujarnya.
Rintis Usaha Angkot