Indikasi kecurangan ketiga ada di proses rekapitulasi di tingkat kecamatan dan kaupaten, yang juga kurang diawasi.
Apabila diasumsikan kelompok curang tadi sudah berhasil memanipulasi DPT, mendapat surat suara dan formulir C1 berlebih, kini mereka hanya tinggal mengganti kotak suara. Dan pengawasan untuk kotak suara sendiri sangat lemah.
"Katanya ada mitra pengawas pemilu. Kalaupun mereka jadi dibiayai negara, mereka kan hanya bekerja di hari H. Dan apa dia akan mengawasi kotak suara 24 jam? Itu tak jelas juga. Yang awasi 24 jam hanya polisi," jelasnya.
Sementara di KPU Pusat sendiri, seandainya pun mengetahui ada oknum KPU di daerah yang terlibat kecurangan, akan cenderung membela hasil kerja bawahannya itu.
Jadi meski KPU Pusat tahu KPUD salah, lanjutnya, hasil rekap daerah tetap dibawa ke rekap tingkat nasional.
"KPU pusat akan membela mati-matian. Ini yang saya sebut struktur KPU memungkinkan kecurangan terjadi dan dibela KPU tingkat atas," jelas Jerry.
Wasekjen PDIP Hasto Kristiyanto, menambahkan, pihaknya mensinyalir ada dua pihak yang bisa melakukan kecurangan pemilu.
Dia menyebutnya sebagai 'Bapak Megaloma' dan 'Ibu Nia', yang jika bertemu akan menjadi keluarga "Megalomania".
"Itu adalah simbolisasi atas realitas bekerjanya kekuatan anti demokrasi. Kedua kekuatan itu merupakan pertemuan antara pihak-pihak yang ingin mempertahankan kekuasaan dengan mereka yang ingin merebut kekuasaan," tegas Hasto.
Menurut Hasto, 'Keluarga Megalomania' itu dibangun dengan kekuatan pihak-pihak yang selama ini berlindung di belakangnya. Pihak-pihak itu mendapat balasan berupa kelimpahan rejeki melalui berbagai pergaulan dengan mafia impor, mafia senjata, dan mafia narkoba.
Karena itulah tidak heran mengapa impor berjalan terus dengan skala masif, dan mengapa Pertamina dibuat tergantung dengan impor minyak.
Hasto kembali mengungkap, terkait lolosnya Ratu Mariyuana asal Australia, Schapelle Leigh Corby, bisa mendapatkan grasi.
"Mereka telah bermain jauh sehingga bisa mengatur jadwal kampanye. Partai-partai yang berpotensi membesar seperti PDI Perjuangan dan Nasdem, jadwal kampanye sering dibenturkan dengan regulasi baru yang dibuat oleh KPU daerah," beber Hasto.
Para pihak itu juga diduga memiliki kemampuan membuat kotak suara dari kardus sehingga mudah dirusakkan dengan alasan kehujanan dan lain-lain.
Juga merombak APBN sehingga tiba-tiba dana bansos naik dari Rp 56 Triliun menjadi Rp 91 Triliun.
Sementara operasi intelijen bawah tanah juga digerakkan dengan 'kode-kode burung' telah dijalankan seperti 'Gagak Hitam', 'Alap-alap', dan 'Merpati'.
"Mereka juga punya kemampuan menggembosi suara lawan. Maka Partai Golkar pun diserang dengan mengeluarkan video tamasya," imbuh Hasto.