TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Ari Dwipayana, menilai sikap politisi Partai Gerindra, Pius Lustrilanang, yang meremehkan volunterisme justru memeperlihatkan dirinya sudah terbiasa dengan cara-cara politik mobilisasi dan transaksional sehingga gagal untuk melihat kemunculan volunterisme.
Menurut Ari, kesukarelawanan atau volunterisme di kubu pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagaimana ditunjukkan dua tukang becak, Blasius Hariyadi atau Harry van Yogya dan Abuanto, yang menggenjot becak dari Yogyakarta ke Jakarta untuk mendukung Jokowi-JK itu merupakan kelebihan dari Jokowi-JK yang mampu membangkitkan kesukarelawanan masyarakat.
“Kalau Pius tak percaya adanya volunterisme itu, sikap Pius tersebut telah membuka 'wajah asli' bahwa mereka sudah terbiasa dengan politik mobilisasi dan transaksional sehingga gagal untuk melihat kemunculan volunterisme,” kata Ari Dwipayana, di Jakarta, Rabu (2/7/2014).
Menurut Ari, tak bisa ditolak lagi bahwa ada ketidakmampuan Pius yang mendukung Prabowo-Hatta untuk menggerakan volunterisme warga itu.
Yang ditunjukkan saat ini memang kontras antara kubu Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta, dimana Kubu Jokowi-JK sangat padat relawan tanpa bendera partai dan berasal dari segala segmen sosial.
Sedangkan kubu Prabowo-Hatta justru lebih kental bendera partai.
Kontras lain adalah volunterisme ditandai dengan keanekaragaman, bersifat terdesentralisasi, dan tersebar karena muncul dari inisiatif warga.
Sementara politik mobilisasi-transaksional ditandai dengan keseragaman karena didorong oleh instruksi, komando dan terpusat.
“Volunterisme yang tumbuh dari warga pada saat Pilpres 2014 ini menegaskan kontras dengan politik transaksional alias politik wani piro yang justru berkembang kuat dalam sepuluh tahun terakhir,” tegas Ari.
Lebih lanjut, dia menilai pernyataan yang meremehkan kesukarelawan justru menunjukkan bahwa ada politisi yang yakin dengan kekuatan uang besar yang dianggap akan mampu membeli dukungan pemilih.
Hal demikian jelas berbahaya bagi demokrasi Indonesia karena kemenangan di pemilu akan dilakukan dengan kemampuan membeli partai, membeli suara pemilih, membeli penyelenggara, bahkan kemampuan membeli aparat.
“Indikasi semakin nyata dengan munculnya model transaksional dalam membangun koalisi dan menarik dukungan tokoh, surat untuk guru yang diselipi uang Rp100 ribu, artis pendukung berbayar sampai penggerak sosial media berbayar,” tegasnya.
Bagi Ari Dwipayana sendiri, volunterisme yang ditunjukkan Harry dan Abuanto, serta jutaan masyarakat lainnya pendukung Jokowi-JK, mengingatkannya lagi pada kesukarelawanan sejenis yang terjadi pada 1999.
Saat itu, warga secara sukarela dan swadaya terlibat dalam politik elektoral seperti mengadakan atribut kampanye dengan biaya sendiri, membiayai aktivitas posko-posko secara gotong royong, sampai dengan sumbangan pada dapur umum.
Apa yang menggerakkan itu? Apakah uang? Jelas bukan. Mereka digerakkan oleh keinginan atas perubahan. Mereka digerakkan oleh sebuah harapan.