"Di GBL, buka mulai jam 8 pagi hingga 12 malam. Lebih dari itu, tamu harus pulang kalau tidak mau kena operasi. Tapi, di tempat-tempat karaoke lain di luar GBL, buka sampai pagi sehingga mereka lebih suka memilih tempat karaoke di luar GBL," ujarnya.
Sepinya tamu karaoke juga dialami Sulasmi (45). Sulasmi juga mengaku tidak berani memelihara PK karena tempat karaokenya sepi. Dia mengelola tempat karaokenya bareng dengan suami.
"Untung warung minuman dan makanan saya laku. Kalau tidak, saya bisa bangkrut," kata Sulasmi.
Sulasmi menjelaskan, kontrakan di GBL sangat mahal. Paling murah setahun Rp 10 juta. Sementara penghasilannya tidak menentu, apalagi tamu yang datang di GBL, semakin hari makin berkurang. "Banyak yang tutup karena bangkrut," kata Sulasmi.
Pemilik karaoke lainnya, Widi (23), justru mengalami nasib berbeda dengan Asmadi dan Sulasmi. Perempuan cantik yang mengaku berasal dari Kota Bandung ini kerap menerima kunjungan tamu sehari minimal tiga orang. Mereka bisa menyewa karaoke plus PK-nya, masing-masing empat hingga lima jam. Para tamu itu juga membeli minuman bir hingga berbotol-botol. Widi yang mempunyai lima anak buah itu mengaku mengontrak rumah di GBL selama dua tahun. Harga kontrak per tahun Rp 12,5 juta.
"Saya baru tiga bulan di sini. Untuk sewa karaoke, satu jamnya Rp 30.000 dan PK-nya Rp 50.000. Selain sebagai induk semang, saya juga menjadi PK kalau ada tamu yang menghendaki saya," akunya.
Widi yang berkulit putih bersih dan berambut panjang sepunggung ini menjelaskan, sebelum mengontrak rumah di GBL, Kendal, selama dua tahun, dia mengontrak rumah di GBL Semarang. Tetapi, karena ada masalah dengan pengurus Resos di GBL Semarang, ia pindah ke Kendal.
"Pengurus GBL di wilayah Semarang orangnya keras. Saya tidak kerasan karena saya diharuskan mau mengikuti kegiatan, seperti latihan teater atau apa," tambahnya sambil tertawa genit.