Satu lagi idiom agama yang kerap dimunculkan adalah melawan thoghut. Video-video yang diunggah ISIS mengajak masyarakat meninggalkan dan melawan pemimpin-pemimpin Thogut. Apa sejatinya thoghut?
Dari akar katanya, thogut bisa dimaknai sebagai orang yang membangkang, tetapi pada umumnya dimaknai sebagai penguasa yang membangkang dari agama dan garis-garis besar agama.
Dalam pandangan mereka (ISIS), pemimpin-pemimpin kita dianggap thogut karena tidak menerapkan hukum-hukum Islam secara tegas. Hukum-hukum Islam yang dimaksud adalah hukum-hukum yang sesuai dengan yang dipahami dan diyakini ISIS.
Kalau tidak menerapkan berarti thogut, kalau menerapkan berarti tidak thogut.
Menurut saya, pemahaman mereka (ISIS) soal hukum Islam sangat kaku. Bagi mereka, hukum Islam itu adalah yang potong tangan, cambuk, atau menghukum mati orang berzinah. Padahal, itu hanya sebagian kecil dari hukum Islam.
Prinsip yang dikendaki Islam (dalam hukuman) sebenarnya adalah keadilan dan persamaan. Jadi, sebuah negara yang menegakkan keadian dan mewujudkan kemakmuran, walaupun bukan bernama negara Islam, menurut saya lebih Islami daripada negara (yang menggunakan nama -red) Islam tetapi tidak adil.
Misalnya menerapkan hukuman potong tangan, tapi yang potong tangan sembarangan.
Islam harus dipahami secara kontekstual. Demikian pula pesan-pesan agama harus disesuaikan dengan konteksnya.Agama itu turun pada konteks tertentu.
Maka ketika diterapkan pada konteks yang berbeda, tentu saja pemahamannya harus berbeda.
Tidak bisa satu penafsiran diterapkan pada konteks yang berbeda. Bisa salah kaprah nanti.
Contoh yang sederhana seperti ini. Saya yakin orang di sebuah negara yang kaya raya, tidak akan dengan mudahnya mencuri.
Demikian pula, di negara yang miskin, pencurian bisa terjadi di mana-mana. Maka, perintah potong tangan untuk pencuri di dua negara ini harus berbeda penfsirannya.
Masa orang yang mencuri untuk memenuhi kebutuhan makannya harus dipotong tangan? Beda lagi dengan orang kaya yang mencuri karena rakus, itu harus dipotong tangannya.
Terhadap orang yang miskin yang tidak punya apa-apa, tidak punya pekerjaan, maka harus penuhi dulu kebutuhannya. Kalau mencuri lagi, baru dipotong tangannya.
Jadi tidak boleh semena-mena menafsirkan agama itu. Penafsiran dan pemahaman harus disesuaikan dengan konteksnya.