TRIBUNNEWS.COM.MURATARA -- Sejak harga karet turun setahun terakhir, sebagian besar masyarakat di Kecamatan Rupit dan Karangjaya, Kabupaten Musirawas Utara (Muratara) memilih bekerja sebagai penambang batu sarang tawon. Dari hasil penjualan batu itu, rata- rata mereka bisa mengumpulkan uang Rp 2,5 juta dalam seminggu.
Batu sarang tawon adalah jenis batu alam yang mempunyai serat warna dan karakter khas, unik dan eksotik. Batu ini memiliki beragam warna, ada merah, kuning, putih, dan kebiruan. Motif bunga yang menyerupai sarang lebah atau tawon menjadi ciri khas utama batu ini. Selain cincin, batu ini juga bisa dibuat perhiasan lainnya.
Menambang batu sarang tawon sebenarnya bukan hal baru bagi sebagian masyarakat di Muratara. Beberapa sudah ada sejumlah warga yang mencari batu untuk dijual dan dijadikan perhiasan sejak puluhan tahun lalu. Namun karena harganya masih murah dan pasarnya hanya di kalangan pengrajin lokal saja, tidak banyak warga yang tertarik.
Berbeda dengan saat ini, batu sarang tawon yang diburu warga harga jualnya cukup menjanjikan, yakni Rp 7 ribu per kilogram untuk kualitas biasa dan bisa mencapai Rp 15 ribu untuk kualitas super. Sementara di sisi lain, harga karet yang selama ini menjadi andalan masyarakat di sana dinilai sangat murah.
"Hampir 75 persen masyarakat di sini sudah beralih pekerjaan menjadi penambang batu. Sementara ini karet tidak bisa diandalkan. Mana harganya murah, getahnya juga sedikit karena kemarau," kata Buchori (38), salah seorang penambang batu sarang tawon yang ditemui di lokasi penambangan, Desa Tanjungberingin, Kecamatan Rupit, Selasa (14/10). Desa tersebut termasuk salah satu lokasi tambang terbesar di sana. Dari Rupit yang saat ini menjadi ibukota Kabupaten Muratara jaraknya sekitar 20 Km atau 60 Km dari Kota Lubuklinggau. Karena jalannya sempit, akses ke lokasi penambangan hanya bisa ditempuh menggunakan sepeda motor.
Di lokasi penambangan, Buchori bersama sejumlah penambang lainnya tidak hanya mencari batu di permukaan tanah. Mereka bahkan menggali lubang hingga menyerupai sumur dengan kedalam sekitar 3 sampai 4 meter. Dalam upaya mencari batu itu, umumnya para penambang membentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari tiga atau empat orang.
"Rata-rata satu kelompok itu empat orang. Sulit kalau bekerja sendiri, karena harus menggali dan menaikkan batu menggunakan tali atau derek," ujar Buchori.
Dia menjelaskan, dalam seminggu kelompoknya bisa mendapatkan 1 ton batu. Setelah terkumpul, batu diangkut menggunakan motor untuk dijual ke pengepul. Menurut Buchori, di tingkat pengepul, batu-batu itu di cuci dan disortir berdasarkan kualitasnya, lalu ditimbang.
"Nah nanti batu itu dibawa menggunakan truk ke Pulau Jawa seperti Jakarta dan Sukabumi. Kemudian diekspor ke Taiwan, Korea bahkan Jepang," katanya.
Yoto, warga Desa Tanjungberingin, termasuk salah seorang petani yang juga memilih menjadi penambang batu sarang tawon. Menurut dia, baru setahun terakhir ini masyarakat mencari batu di darat (dalam tanah). Sebelumnya, pencarian batu hanya dilakukan di sungai. Dia sendiri, awalnya tidak sengaja menusukkan tojok (semacam tongkat terbuat dari besi sebesar jari dengan panjang sekitar satu meter) ke tanah milik salah seorang warga. Tojok itu membentur benda keras. Setelah digali, ternyata batu sarang tawon.
"Saya ambil dan saya jual Rp 11 ribu per kilogram. Sejak itulah banyak yang menggali tanah untuk cari batu," katanya.
Dalam sehari, Yoto dan tiga rekannya mendapatkan batu rata-rata Rp 500 kilogram. Jika sedang beruntung, dia bahkan mampu mengumpulkan Rp 800 ribu per hari. "Cari batu ini juga untung-untungan. Kalau lagi beruntung dapat banyak dan menggali pun tak perlu terlalu dalam. Pernah kami menggali sampai empat meter baru mendapat batu. Biasanya dua meter sudah ketemu," katanya. (zie)