TRIBUNNEWS.COM, MUNA - Pada tahun 2007 atau setahun setelah lulus SMA, Seneng Mujiasih yang saat itu berusia 21 tahun memutuskan untuk merantau ke Hongkong.
Keputusan itu dilatarbelakangi keinginan Seneng memperbaiki taraf ekonomi keluarganya dan kisah sukses kawan-kawannya yang telah menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Hongkong.
Setelah mendapat restu dari orangtuanya, Seneng pun meninggalkan orangtuanya, Mujiharjo (54) dan Jumineng (55), yang telah menetap di Desa Sidomakmur, Kecamatan Tiworo Kepulauan, Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara, sejak 1983.
Pengorbanan Seneng membawa perubahan pada keluarganya. Secara berkala, Seneng mengirim uang kepada orangtuanya. Berkat uang kiriman itu pula, Mujiharjo bisa membangun rumah tembok berukuran 8x8 meter.
Namun, sejak Seneng merantau, dia baru satu kali pulang ke Muna Barat, yakni pada tahun 2009. Meski demikian, Seneng eksis di jejaring sosial Facebook atau FB dan berkomunikasi dengan teman-temannya di Muna Barat.
Lewat FB pula, Seneng yang punya nama alias Jesse Lorena Ruri memamerkan foto-foto dirinya. Di antaranya adalah foto saat Seneng berada di klub hiburan malam dan foto kebersamaannya dengan pria asing atau bule.
Kepada Sutianingsih (28), tetangganya, Seneng juga pernah curhat tentang hubungannya dengan pria bule. Seneng curhat kepada Sutianingsih ketika ia pulang kampung tahun 2009.
"Saat itu Seneng mengatakan dirinya tinggal di Hongkong dan pacaran dengan bule. Saya juga diperlihatkan fotonya," ujar perempuan yang pernah menjadi TKI di Malaysia itu, baru-baru ini.
Setelah liburan selama sekitar dua pekan, Seneng berangkat lagi ke Hongkong. Seneng pun mengajak Sutianingsih.
"Saya ndak ikut. Suami saya melarang," ujar Sutianingsih yang mengaku punya pengalaman pahit sewaktu menjadi TKI di Malaysia.
Seneng Mujiasih adalah bungsu dari dua bersaudara pasangan transmigran asal Sleman, DIY, Mujiharjo (54) dan Jumineng (55).
Kakaknya, Sri Suantoro (30) bahkan belum pernah bertemu Seneng sejak sang adik merantau ke Hongkong. Saat Seneng pulang, tahun 2009, Sri Suantoro yang menjadi buruh kayu di Manokwari, Papua, justru tak pulang ke Muna Barat.
"Seneng berangkat 2007, pulang ke sini lima hari sebelum Lebaran 2009. Setelah setengah bulan, dia pergi lagi. Yah..., dia hanya sekali pulang ke sini. Waktu dia pulang, kakaknya sedang di Papua, jadi mereka nggak ketemu," ujar Mujiharjo, baru-baru ini.
"Sebelum ke Hong Kong, Seneng sempat bekerja di tempat pabrik tahu milik saya," kata Marini (40), pengusaha tahu yang rumahnya berjarak sekitar 20 meter dari rumah Mujiharjo.
Marini dan Seneng berteman di jejaring sosial Facebook.
"Terakhir Facebook-an sehari sebelum dia meninggal, itu tanggal 31 Oktober pukul 06.45 WITA. Waktu itu, saya hanya tanya kabar dan bagaimana pekerjaannya. Dia bilang, kabar baik dan pekerjaannya lancar. Waktu itu dia juga pasang (upload) tiga foto. Ini foto-fotonya," kata Marini seraya menunjukkan foto Seneng di taman di distrik Wan Chai, Hongkong.
Tujuh tahun lalu, Seneng berangkat ke Hongkong bersama tiga teman sedesanya. Mereka berangkat ke Hongkong atas ajakan, Sahiri, warga Desa Sidomakmur. Saat itu, keempatnya berangkat ke Hongkong melalui perusahaan pemberangkatan TKI atau PJTKI di Banyuwangi, Jawa Timur.
"Dia berangkat dari Banyuwangi, dia di sini cuma urus surat pengantar dari desa. Waktu awal dia ke Hongkong, dia bilang kerja sebagai pembantu rumah tangga, membantu menjaga orang yang sudah tua. Waktu dia pulang kampung ke sini, dia kasih foto-fotonya waktu dia kerja jaga orang tua di Hong Kong," kata Mujiharjo seraya mengambil dan menunjukkan foto-foto tersebut.
Dua pekan di kampung halaman pada 2009, Seneng menyempatkan mengurus surat adminitrasi untuk berangkat kembali ke Hongkong.
"Waktu 2009 itu lagi hari Lebaran. Dia pulang dan urus surat lagi dan kerja di restoran. Nggak tahu restoran apa," ujarnya.
Sang kakak, Sri Suantoro baru kembali ke rumah dari perantauan di Papua pada 2012. Ia belum bertemu adiknya sejak tahun 2007.
"Saat Seneng pulang ke sini, saya berada di Monokwari, lagi bekerja juga di sana. Kalau tahu seperti ini, saya pasti balik untuk bertemu dengan Seneng," sesalnya.
Karena tumbuh besar bersama sejak kecil, Sri Suantoro mengaku mengetahui betul tabiat sang adik. Menurutnya, adinya itu terbilang perempuan baik, mudah bergaul, dan tidak mudah marah.
Hanya soal kehidupannya di Hongkong, Seneng terbilang tertutup terhadap keluarga.
"Kalau ditanya soal kehidupannya di Hongkong, jawabannya dia cuma bilang hidup enak. Saya ndak tahu dia terbuka atau tertutup kalau sama teman-temannya di kampung," ungkapnya.