TRIBUNNEWS.COM.YOGYA – Prokontra mengenai Sabdaraja dan suksesi kepemimpinan di Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, tidak memengaruhi kesetiaan para abdi dalem. Mereka yang bertugas di dalam maupun luar keraton, masih beraktivitas seperti biasa.
Hal itu dikatakan Penghageng Tepas Tandha Yekti (pusat data dan informasi Keraton Kasultanan Yogyakarta) KRT Yudha Hadiningrat, yang ditunjuk sebagai juru bicara Keraton.
"Abdi dalem pasti tidak terpengruh. Masalahnya abdi dalem kan bagaimana dan apa Dawuh Dalem (Sultan), misalnya kemarin ada Sabdaraja maupn Dawuh Raja, semuanya juga hadir," katanya pada Tribun Jogja, Minggu (10/5/2015).
Ia mengatakan, situasi di dalam Keraton masih tenang dan tenteram seolah tidak ada masalah. Dirinya yang setiap hari berkantor di Tandha Yekti Keraton Kasultanan, mengetahui dan melihat apa saja yang terjadi di dalam Keraton.
Sebelumnya, pada Kamis (7/5) , seorang abdi dalem mengembalikan kekancingan atau surat keputusan pengukuhan sebagai abdi dalem di Dalem Yudanegaran, sebagai bentuk protes dikeluarkannya Sabdaraja.
Abdi dalem tersebut bernama asli Kardi, diangkat sebagai abdi dalem keprajan dengan gelar Mas Wedana Nitikartya sejak dirinya menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Yogyakarta, pada 31 Agustus 2011.
Surat Kekancingan itu diserahkan langsung kepada adik Sultan, GBPH Cakraningrat di hadapan awak media yang juga disaksikan oleh GBPH Prabukusumo.
Pengageng Tepas Dwarapura Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Humas Keraton Kasultanan Ngayogyakarta), KRT H Jatiningrat SH atau Romo Tirun saat ditemui di ruang kerjanya mengungkapkan, para abdi dalem tidak terpengaruh dengan situasi saat ini.
Menurutnya, para abdi dalem memiliki tekad untuk mengabdi pada budaya, sebab seorang abdi dalem adalah penjaga budaya yang pempertahankan institusi Keraton. Sehingga siapapun Rajanya yang menduduki tahta, tidak berpengaruh.
“Kita yang penting lembaganya, sebab ini adalah tinggalan leluhur. Soal ada perbedaan, silakan saja, risikonya ditanggung sendiri-sendiri. Abdi dalem tidak terpengaruh,” kata cucu HB VIII ini.
Namun demikian, jika ternyata adanya polemik ini memengaruhi kesetiaan abdi dalem, baik yang setiap hari berdinas di keraton maupun di luar, sebaiknya menengok kembali pada institusi Keraton.
Jangan sampai ketenangan abdi dalem terganggu, sebab abdi dalem pengabdiannya ke Keraton. Makanya supaya tidak bingung, kembalilah menengok (mengabdi) ke Keraton,” kata Romo Tirun.
Pakai Buwono
Adapun mengenai perubahan gelar Sultan, lanjutnya, sampai saat ini seluruh administrasi di Keraton masih menggunakan gelar yang lama. Hal itu karena belum ada perintah dari Sultan untuk mengubah gelar dalam keperluan administrasi.
“Administrasi Keraton masih memakai Buwono, karena belum ada perintah untuk mengubah. Jadi jika ada perubahan, biasanya nanti kan ada Dawuh Dalem yang menyatakan bahwa mulai sekarang ada perubahan nama, begitu,” tuturnya.
Pada Jumat (8/5), Sri Sultan Hamengku Buwono X memberikan penjelasan mengenai Sabdaraja dan Dawuh Raja yang ia keluarkan pada 30 April lalu.
Sultan mengakui bahwa hal ini akan menimbulkan perbedaan pendapat. Menurutnya, sebuah perubahan memiliki konsekuensi antara pro dan kontra.
“Dua sabda yang saya utarakan itu memang berat untuk dipahami orang lain, tapi yang melakukan juga lebih berat. Tapi, ya, enggak apa-apa ditanggung risikonya,” katanya
a juga mengungkapkan adanya Sabdaraja dan Dawuh Raja, dirinya yang bertahta di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat hanya melaksanakan perintah Allah SWT melalui leluhur Mataram. Jika tidak dilaksanakan, ia khawatir menerima risiko lebih berat.
"Aku tidak apa-apa 'didebat' adik dan orang lain, yang tidak mengetahui sejatinya Sabdaraja dan Dawuh Raja ini. Jadi, saya tidak akan bereaksi apapun, saya menerima 'didebat'. Dari pada saya dimarahi oleh Tuhan," katanya saat menjelaskan makna Sabdaraja dan Dawuh Raja, menggunakan Bahasa Jawa.
Pisowanan
Terpisah, masyarakat dari berbagai latar belakang yang tergabung dalam Jamaah Nahdliyin Mataram, menggelar Pisowanan dan doa bersama di Komplek Makam Panembahan Senopati dan Raja Mataram Islam, Kotagede, Minggu (10/5).
Acara sebagai bentuk keprihatinan mereka terhadap Sabdaraja oleh Sri Sultan HB X ini, mengenai penghapusan gelar Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah.
Usai melakukan doa bersama di Bangsal Pengapit Ler, komplek Makam Panembahan Senopati, mereka kemudian menyampaikan pernyataan sikap di depan para wartawan, dengan harapan didengar oleh Sultan HB X.
Koordinator Jamaah Nahdliyin Mataram, Muhamad Alfu Niam, mengatakan, masyarakat sadar bahwa suksesi adalah urusan internal Keraton, dan tak ingin ikut campur. Namun gelar tersebut merupakan penanda keselarasan dunia batin Islam Jawa.
Selain itu, Keraton Mataram berdiri di atas dunia batin dan dilestarikan oleh budaya Islam Jawa, hingga terwujud akulturasi antara Islam dan Jawa dengan bentuk gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Secara historis, sosiologis, dan spiritual, Keraton Yogyakarta adalah penerus Kerajaan Mataram Islam.
“Gelar ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari dunia batin dan kebanggaan masyarakat Jawa-Islam. Ini satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan eksistensi Keraton Mataram,” katanya.
Kader Muhammadiyah yang juga seorang budayawan, Ahmad Charis Zubair yang hadir dalam acara tersebut mengungkapkan, dirinya menyayangkan adanya perubahan gelar. Sebab gelar Buwono memiliki arti bumi, sementara Bawono adalah alam semesta.
Buwono sama artinya dengan Khalifah Fil Ardl yang adalah kewajiban bagi seluruh manusia menjaga bumi. “Kalau Bawono itu alam semesta, tugas manusia bukan mengelola alam semesta tapi cukup bumi saja. Alam semesta itu kewenangan Allah SWT,” katanya.
Menurut Charis, sejarah yang sudah jadi paugeran dan Undang Undang, mestinya ditaati. Terlebih Keraton Yogyakarta adalah bagian dari Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI).
Jamaah Nahdliyin Mataram berharap, Sultan Hamengku Buwono X mengkaji ulang mengenai Sabdaraja tersebut. (tribunjogja.com)