TRIBUNNEWS.COM - "ADIKMU tak ada, kak! Adikmu tak ada," seru Yum Hayumah (37) istri korban insiden terowongan Mina, Hamid Adwi, melalui sambungan telepon kepada kakak iparnya, Bukhori (62), Kamis (24/9) pukul 21.00 WIB.
Suara Hayumah meraung-raung histeris membuat Bukhori kebingungan.
Tiba-tiba, suara adik iparnya itu berganti suara lelaki. Bukhori tak mengenal laki-laki itu, namun ia tahu suara itu bukan suara adiknya.
Saking bingungnya, Bukhori bahkan tak sempat menanyakan namanya.
Dari sambungan telepon itu, laki-laki tersebut menceritakan tentang kematian adiknya, Hamid Adwi.
Sekitar pukul 11.00 waktu Mekkah, Hamid bersama istri dan delapan orang anggota regunya berjalan memasuki terowongan Mina. Namun, tiba-tiba suasana menjadi sesak.
Awalnya, 10 orang ini berjalan gandengan bersama. Namun, karena desakan ribuan orang, pegangan mereka terlepas, termasuk pegangan tangan antara Hayumah dengan Hamid.
Ketika genggaman tangan Hamid terlepas, Hayumah melihat secara langsung tubuh suaminya ini roboh dan terinjak-injak orang.
Namun ia tak dapat menolong suaminya itu lantaran tubuhnya terdorong dan terpisah menjauh.
Cerita singkat ini belum mampu dicerna dengan baik oleh Bukhori, tiba-tiba sambungan telepon itu terputus.
"Saya syok mendapat telepon itu. Kemudian setelah melihat nama adik saya muncul di berita, baru saya paham apa maksud telepon orang (yang menelpon) itu," ungkapnya.
Adiknya itu tak menunjukkan gelagat aneh saat terakhir menghubunginya. Bukhori menuturkan dirinyalah yang menjaga rumah adiknya selama sedang berhaji.
Setiap hari menelepon dirinya untuk menanyakan kabar dua cucunya dari anak pertama bernama Nuris (25). Dua cucunya itu bernama Baim (5) dan Nabila (6 bulan).
"Tapi saat akan melakukan wukuf, adik saya bilang tidak akan lagi menelepon selama tiga hari. Ternyata itu saat terakhir saya berbicara dengannya," ucapnya.
Kedua anak Hamid, Nuris (25) dan Rofiq (14) tak mampu berkata-kata.
Bahkan putri sulungnya hanya menutup wajahnya dengan bantal sembari menangis ketika Wakil Gurbernur Jatim, Saifullah Yusuf, menyambangi kediamannya.
"Keponakan saya nangis terus tiap kali ditanya ayahnya. Adiknya sama saja, diam saja tak mau bicara. Tapi saya memahami perasaan mereka," jelasnya.
Rumah Hamid penuh sesak dengan saudara, tetangga, dan handai taulan.
Lukisan para habaib dan auliya terpampang di dinding sebagai hiasan.
Sehari-hari, Hamid mengurus tanamannya. Di tanah seluas 1 hektare, ia menanam macam-macam sayuran, seperti cabai, tomat, jagung, dan lainnya.
Bukhori menuturkan keinginan adik iparnya ke Tanah Suci begitu kuat. Ketika panen tiba, uangnya tak dibelikan barang mewah, melainkan diputar dengan membeli sapi.
"Akhirnya punya tiga sapi besar-besar. Kebetulan juga waktu itu harga cabai lagi melambung, dan adik saya panen besar," kenangnya.
Terkait adik iparnya, Hayumah, Bukhori masih percaya masih hidup.
Tiap kali menelepon nomor adiknya, yang mengangkat seorang laki-laki dan hanya mengatakan Hayumah masih trauma dan dirawat di rumah sakit.
"Adik saya itu orang yang sabar. Dia menabung hampir 10 tahun dari hasil taninya sampai akhirnya bisa berangkat," ujarnya.
Anak sulung korban terowongan Mina lainnya, Indah Nur Aini, tak mengetahui jejak ayah dan ibunya, Niro (50) dan Murti Ningsih.
Indah hanya mengetahui bahwa ayahnya tak bisa ditemukan setelah berjalan bersama istrinya saat ingin melempar jumroh.
Indah mengungkapkan dirinya mendapatkan telepon dari ibunya pascatragedi tersebut terjadi. Ibunya menuturkan sedang berada di rumah sakit (RS).
"Tapi ibu tak tahu nama RS-nya. Ibu bilang ia baik-baik saja, dan malah berpesan supaya saya dan keluarga mencari informasi tentang ayah," tukas Indah lirih.
Hanya saja, sampai hari ini, Indah yang tinggal di Desa Triwungan, Krajan, Kota Anyar, Kabupaten Probolinggo, tak lagi bisa menghubungi ibunya.
"Saya berharap kepastian nasib orangtua saya," ujar Indah yang kemudian sesegukan.
Ternyata, korban tragedi Mina di Probolinggo tak hanya dua orang seperti yang selama ini terdata. Abdul Karim (75) warga Jalan KH Hasan Genggong Gang Bayu Sari 8 RT 03/RW 04, Desa Banyusari Wetan, Kanigaran, Kota Probolinggo, diinformasikan juga menjadi korban.
Anak sulung Abdul Karim, Sugianto (42), mengungkapkan dirinya mendapatkan kiriman gambar jenazah ayahnya dari ketua rombongan. Ketua rombongan yang bernama Samsul Nur Jadid itu mengirimkan foto yang mirip ayahnya.
"Saya dikirim pagi ini (Jumat), dan memang mirip ayah saya. Tapi informasinya masih simpang siur, sementara saya tanyakan Kemenag Kota Probolinggo masih belum ada kepastian," tandas Sugianto.
Menurut Samsul, ayahnya belum kembali ke hotel tempat rombongannya sejak insiden tersebut.
"Pak Samsul positif yakin jenazah itu ayah saya. Tapi dari otoritas belum ada kejelasan. Saya ingin cepat jelas," ujarnya.
Wakil Gurbernur Jatim, Saifullah Yusuf, atau Gus Ipul menyambangi tiga keluarga korban, termasuk ke keluarga Abdul Karim.
Dalam sesi keterangan pers, Gus Ipul (sapaan Saifullah Yusuf), meminta agar pihak Kerajaan Arab Saudi (KAS) segera mengeluarkan statement resmi terkait insiden ini. "Keterangannya harus jelas dan transparan," ujar Gus Ipul.
Menurut Gus Ipul, banyak berita simpang siur yang beredar di seluruh dunia mengenai dugaan terjadinya penumpukan jamaah di terowongan Mina.
Jika tidak diluruskan, kabar burung ini akan semakin santer dan mencoreng KAS sebagai tuan rumah penyelenggaraan haji.
"Ada kabar burung yang mengatakan adanya penumpukan jamaah karena ada seorang pejabat yang ingin menerobos melawan arah. Tentunya ini bisa mencoreng KAS secara institusi kenegaraan di mata internasional jika tak segera dilakukan penyelidikan dan pernyataan resmi yang transparan," urainya.
Saat mengunjungi keluarga Hamid, Gus Ipul mengatakan Yum Hayumah sedang dirawat di RS Al Jeezer. Namun, kondisi terakhir keadaannya masih belum diketahui pasti. "Yang jelas beliau sedang ditangani secara baik," tegasnya. (Surya)