TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak keluarga Warga Negara Indonesia (WNI) yang disandera kelompok Abu Sayyaf mulai resah.
Kepastian kabar mengenai nasib para WNI tersebut tidak ada kejelasan.
Padahal Jumat kemarin adalah batas waktu terakhir menebus 10 WNI yang disandera di Filipina.
Charlos Barahama (64) dan Sopitje Salemburung (60), orangtua Peter Tonsen Barahama, nakhoda kapal Brahma 12 yang merupakan salah satu sandera berharap pemerintah bisa menyelamatkan Peter Tonsen.
"Harapan kami agar perusahaan itu tetap berusaha memenuhi apa yang diminta oleh penyandera itu. Kami juga berharap pemerintah, perusahaan, kepolisian, dan TNI untuk dapat membebaskan anak kami," ujar Sopitje, Jumat (8/4/2016).
Keluarga pun kini hanya bisa berdoa memohon kepada Tuhan agar anak mereka masih dalam keadaan selamat.
Sementara itu hari terakhir pembayaran tebusan sandera Abu Sayyaf, Filipina meminta agar mempercayakan semua pada tentaranya.
Jumat kemarin merupakan tenggat waktu pembayaran tebusan atas nyawa 15 warga asing yang menjadi sandera kelompok militan Abu Sayyaf.
Dari 15 orang tersebut, 10 orang di antaranya adalah warga negara Indonesia.
Namun, hal itu tak mempengaruhi pasukan tentara Filipina yang telah ditugaskan untuk menyelamatkan para sandera tersebut.
"Percayakan semua pada tentara Filipina yang beroperasi, pokoknya kami tak akan berhenti," kata Kepala Humas Militer Filipina, Kolonel Noel Detoyato dikutip The Standard.
Ali Fauzi, mantan Kombatan di Filipina Selatan memiliki analisis tersendiri soal penyanderaan 10 WNI oleh kelompok Abu Sayyaf ini.
Berikut tanggapan Ali Fauzi seperti disampaikan kepada Surya (Tribunnews.com Network).
Melihat rekam jejak kelompok Abu Sayyaf selama ini, bisa dipastikan sejumlah warga negara Indonesia (WNI) yang disandera itu akan dibunuh jika permintaan tebusan tidak dipenuhi.
Percuma saja pemerintah Indonesia melakukan operasi militer di wilayah Filipina.
Kelompok ini hanya butuh uang dan uang. Cara negosiasi apapun tanpa uang, bakal percuma. Mereka tidak mau mengambil risiko jika kemauannya (tebusan) tidak diwujudkan.
Namun sebelum para sandera itu dieksekusi kebiasaannya masih diberi kesempatan atau jeda waktu lagi paling lama seminggu. Istilah mereka, ekstra time.
Setelah seminggu tebusan tidak diberikan, para sandera ini baru dieksekusi.
Sandera sesama agama (Islam) saja dieksekusi, apalagi yang beda agama.
Kelompok ini sudah sangat liar, tidak memandang sahabat antarnegara yang dipandang sebagai sahabat secara teritorial.
Perspektif ideologi mereka tidak bisa dibatasi dengan pandangan soal sahabat atau negara bertetangga secara terotorial. Malaysia itu kan negara tetangga, tetap sanderanya dibunuh juga.
Dilihat dari rekam jejaknya, kelompok pimpinan Rodulan Sahirun alias Komandan Putul ini, sejak kecil keluarga mereka banyak yang tumbuh dan hidup di medan konflik serta kekerasan.
Sampai-sampai sang pimpinan, Rodulan Sahirun, harus kehilangan tangan kanannya. Itulah sebabnya, Rodulan Sahirun ini dikenal dan dijuluki komandan putul (putus).
Menurut saya, pemerintah harus serius dan menyediakan dana, seperti mereka minta. Sebab melakukan lobi tanpa uang, percuma saja.
Mengapa mereka benar-benar butuh uang? Uang itu akan dipakai untuk menghidupi orang-orang di pedesaan Filipina atau masyarakat kelas bawah alias orang miskin, selain untuk biaya perjuangan mereka.
Kelompok Abu Sayaf pimpinan Rodulan Sahirun atau Komandan Putul ini bagi warga miskin di wilayah pedesaan, termasuk di Tawi Tawi dan wilayah sekitarnya dianggap sebagai Robinhood.
Karena uang yang didapat Abu Sayyaf selalu dibagi-bagikan kepeda warga miskin di pedesaan itu.
Bantuan uang dari kelompok ini selalu diharapkan masyarakat miskin.
Hubungan masyarakat miskin dengan kelompok Abu Sayyaf ini diistilahkan sebagai sebuah simbiosis mutualisme, saling membutuhkan.
Dalam kenyataan, ketika kelompok ini dikejar-kejar aparat Filipina, larinya ke desa-desa miskin. Mereka 'bersenyawa' alias menyatu dan menyaru sebagai masyarakat desa.
Uang yang diterima masyarakat miskin dipakai menyambung hidup. Makanya, masyarakat di wilayah desa miskin sangat melindungi kelompok pejuang Abu Sayyaf.
Saya memang pernah berada di wilayah Filipina Selatan dan mengenal mereka, namun tidak pernah bergabung dengan kelompok ini. Waktu saya di Filipina, saya mengurusi kelompok saya sendiri.
Apalagi sekarang sudah beda pandang sehingga mereka memandang saya sebagai musuh.
Umar Patek yang sekarang menghuni Lapas Porong, Sidoarjo, memang pernah jadi Dewan Syuronya kelompok ini.
Kalaupun Umar Patek jadi negosiator, tetap harus menyediakan dana, meski jumlahnya barangkali bisa berubah. (surya/nif)