Laporan Wartawan Surya, Sulvi Soviana dan Rorry Nurwawati
SURYA.CO.ID, SURABAYA - Perkampungan nelayan di Kenjeran, Surabaya, identik dengan gang sempit dan bau amis yang bisa tercium sepanjang hari. Apalagi ketika hujan.
Indatul Mukarromah (25), merasakan betul kenyataan itu. Mengingat sejak kecil, ia tinggal di kawasan perkampungan nelayan.
Ia menganggap nelayan atau warga yang bekerja dari hasil laut perlu diedukasi terkait pengelolaan hasil laut yang baik, tanpa mencemari lingkungan.
“Sebenarnya setuju banget kalau mau dijadikan tempat wisata, pastinya perhatian pemerintah harus maksimal,” ungkap Indatul, pada Surya, Rabu (28/9/2016).
Bau amis di sekitar rumahnya, menurut dia, karena belum ada tempat jemur hasil olahan laut yang layak. Sehingga, masyarakat asal jemur di daerah yang padat penduduk.
Belum lagi banyaknya pedagang kaki lima yang menggelar dagangan sembarangan di sekitar jalan raya.
Kondisi ini menjadikan kawasan kampung nelayan belum layak jika dijadikan tempat wisata. Terlebih, untuk lokasi wisata bertaraf internasional.
“Fasilitas jalan dan penataan PKL-nya harus lebih diperhatikan dan dirapikan. Kalau memang ada tempat khusus untuk pedagang, harga sewa jangan terlalu mahal biar gak buka di pinggir jalan lagi,” lanjut dia.
Hal senada diungkapkan Iva Oktavia (21), warga Kenjeran Lama ini sangat mendukung jika perkampungannya ditetapkan sebagai tujuan wisata.
Tak sekadar tradisional, tetapi wisata modern dan layak dikunjungi. Hal ini tentu akan menambah pendapatan masyarakat lokal.
“Pengunjung juga harus sadar lingkungan, kalau sudah ditata bagus, tetapi yang datang jorok ya percuma juga,” tegasnya.
Kota Percontohan
Kepala Dinas Pertanian Kota Surabaya Joestamadji mengakui pemberdayaan kampung nelayan masih membutuhkan proses panjang.
Pemkot Surabaya sudah sejak lama membenahi kampung nelayan ini, melalui pemberdayaan masyarakat pesisir. Dari 10 kecamatan yang digarap dengan berbagai program unggulan, sudah ada empat kecamatan menjadi jujukan utama untuk studi banding, yaitu di Greges Asem Rowo, Bulak, Rungkut dan Gunung Anyar.
“Hingga saat ini Pemkot terus mendorong masyarakat pesisir dengan pemberdayaan warganya. Harapannya, Surabaya menjadi kota percontohan kampung nelayan,” ujar Joestamadji.
Pemberdayaan ini, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.
Tujuannya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik nelayan, pembudidaya, pengolah maupun pemasar hasil perikanan, meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan devisa.
"Semua kampung nelayan itu konsepnya tentu saja tidak terlepas dari program Pemerintah Pusat, Pemprov. Program Pemkot sendiri hingga lintas sektor. Nantinya akan saling berkaitan, meski setiap kampung nelayan mempunyai ciri khas yang berbeda," kata Joestamadji.
Ia mengungkapkan, kehidupan masyarakat pesisir selama ini masih dibawah garis kemiskinan. Perlu ada pembaharuan, tidak hanya dari Pemkot Surabaya saja, melainkan bekerjasama dengan swasta.
Contohnya, bila selama ini pemukiman di kampung nelayan terkenal kumuh, maka Pemkot Surabaya akan memperbaiki dengan merenovasi menjadi lebih layak dan bagus. Warganya akan dibekali pelatihan.
"Nanti disesuaikan program kementerian maupun dinas yang bisa diaplikasikan," papar dia.
Selain pemberdayaan melalui pelatihan, Pemkot memberi bantuan berupa subsidi bahan bakar minyak untuk 2.300 nelayan di 10 kecamatan. Ini untuk memudahkan para nelayan mencari hasil laut.
Sedang fasilitas yang ada di kampung nelayan, lanjut Joestamadji, para wisatawan akan menjumpai tempat pengelolaan ikan, Balai Pelatihan dan sentra UMKM.