"Mereka mengajukan surat pemberitahuan menyampaikan pendapat di muka umum selama dua hari, yaitu Rabu 11 Januari 2017 dan Kamis 12 Januari 2017," kata Yusri.
Pernyataan Yusri itu sekaligus membantah adanya berita di media sosial dan media situs online yang menyebutkan jika Kapolda Jabar sebagai dalang aksi kericuhan antara dua kelompok massa yang hadir di Polda Jabar pada Kamis (12/1/2017).
"Aksi mereka ke Polda Jabar selama dua hari itu untuk menuntut Polda Jabar memproses secepat mungkin apa yang pernah dilaporkan sebelumnya. Rizieq dilaporkan telah memelesetkan sampurasun menjadi campur racun," kata Yusri.
Yusri mengatakan, kelompok massa yang menuntut Polda Jabar menuntaskan kasus plesetan sampurasun itu tak hanya dari GMBI saja.
Menurutnya, kelompok dan komunitas masyarakat Sunda lainnya juga hadir dalam aksi unjuk rasa tersebut.
"Justru kehadiran massa (FPI) yang datang ke Polda Jabar itu tidak ada surat pemberitahuan (keramaian). Padahal mereka itu hanya mengantar," kata Yusri.
Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigadir Jenderal Rikwanto menegaskan, Kapolda Jabar tidak menyalahi aturan.
Polisi bisa saja menjadi pembina atau pengurus anggota ormas, dengan syarat mendapat izin pimpinan.
"Ya (tidak menyalahi)," kata Rikwanto.
Menurutnya, aturan itu tertulis dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sementara, dalam Pasal 16 huruf d dijelaskan adanya larangan polisi untuk tidak ikut serta dalam organisasi masyarakat, kecuali ada persetujuan dari atasannya.
"Setiap anggota Polri dilarang menjadi pengurus dan atau anggota lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, tanpa persetujuan dari pimpinan Polri," demikian bunyi pasal tersebut. (tribunjabar/kps/coz)