Laporan Wartawan Tribun Jateng, Khoirul Muzakki
TRIBUNNEWS. COM, BANJARNEGARA - Sebenarnya di dalam hati, Sugiyono atau biasa dipanggil Ono, meragukan pengakuan para penjemput itu sebagai keluarga Mbah Fanani.
Selama dia dan istri merawat pertapa tersebut belasan tahun, memang banyak orang yang datang mengaku-aku sebagai keluarganya.
"Mbah Fanani selama ini tak bisa diajak berkomunikasi. Kami juga tidak tahu apakah mereka benar-benar keluarga Simbah. Informasinya dia asli Cirebon," tutur warga RT 1 RW 1, Desa Diengkulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara ini, Kamis (13/4/2017).
Kepada Ono, satu di antara penjemput itu menjelaskan bahwa tugas Mbah Fanani bertapa di Jawa Tengah sudah berakhir.
Sudah saatnya ganti bertugas di Jawa Barat.
Ono pun merasa tak punya hak untuk menahan Mbah Fanani jika yang menjemput benar keluarganya.
Dengan hati yang berat, ia dan istri hanya menyampaikan permintaan maaf kepada orang yang selama ini mereka rawat itu.
"Kami sebenarnya berat melepas tapi tak bisa berbuat apa-apa karena mereka mengaku keluarga," jelasnya kepada Tribunjateng.com.
Di sisi lain, ia menganggap ada yang janggal dalam penjemputan mbah Fanani.
Kedatangan mereka ke Dieng tiba-tiba tanpa permisi atau memberitahu lingkungan.
Terutama keluarganya yang selama belasan tahun memberi makan Mbah Fanani.
Mereka juga menjemput tengah malam saat warga tengah tidur lelap.
Ia pun menduga penjemputan itu dengan paksaan, tidak sukarela.
"Ada suara drum jatuh, Mbah Fanani juga teriak au-au. Itu tandanya dia menolak dan kemungkinan dipaksa," tuturnya.
Ono khawatir mereka bukan keluarga Mbah Fanani yang sebenarnya.
Dia hanya bisa berharap, orang tua itu mendapat perlakuan yang baik dari orang-orang baru yang berada di sekitarnya sekarang.
"Saya takut Mbah Fanani disalahgunakan. Zaman sekarang, tahu sendiri. Semoga Mbah Fanani bisa kembali lagi ke Dieng," harapnya. (bagian kedua/bersambung)