"Dia tidak minta apa-apa, hanya minta didoakan. Saya yang tanda tangan surat pernyataan izin di Kantor Agama Pekalongan," ucap dia.
Khamim memulai perjalanannya pada 28 Agustus 2016 sekitar pukul 22.00.
Banyak tamu baik dari Pekalongan hingga Jakarta yang mengantar kepergian Khamim.
Saat pertama kali memulai perjalanan, Khamim ditemani dua rekannya.
Namun sesampai di Tegal, kedua temannya menyerah dan tidak melanjutkan perjalanan.
"Mereka berangkat bertiga, tapi sampai Tegal temannya menyerah. Tidak kuat katanya," ungkap Syaufani.
Tak ada bekal khusus yang dibawa oleh Khamim. Hanya baju baju dan uang dari ayahnya.
"Saya cuma kasih Rp 1 juta. Itu yang jadi bekal dia selama perjalanan dan alhamdulillah sekarang sudah sampai di Abu Dhabi," lanjut dia.
Sembilan bulan anaknya mengembara, Syaufani mengaku jarang sekali menelpon untuk menanyakan kabar anaknya.
Tak bisa menggunakan smartphone jadi alasan Syaufani tidak menghubungi anaknya.
"Teman-temannya kadang kasih lihat saya foto. Pernah saya komunikasi lewat video (video call)," ujarnya.
Sepanjang perjalanan, kata Syaufani, Khamim mengalami bermacam suka dan duka.
Mulai dari diikuti orang tidak dikenal di daerah Palembang hingga salat yang harus sembunyi-sembunyi saat salat di Myanmar.
Ketika mengetahui anaknya telah sampai di Abu Dhabi, Syaufani tak bisa menyembunyikan rasa bangganya.
Tak ada pesan khusus buat anaknya yang memegang gelar sarjana ekonomi pembangunan tersebut.
"Saya cuma pesan hati-hati di jalan. Jika sudah berhasil jangan sombong. Saya tidak tahu kenapa dia mau jalan kaki naik haji. Dia memang kalau sudah punya niat akan dilakukan," tandasnya. (*)