TRIBUNNEWS.COM, TULUNGAGUNG - Binti Muslikah sesenggukan usai diwajibkan membayar biaya perawatan suaminya, Kuat Mujib (61) yang sakit vertigo di RSI Tulungagung.
Padahal warga Dusun Setono Bendo, Desa Babadan, Kecamatan Karangrejo ini mempunyai Kartu Indonesia Sehat (KIS). Namun kartu “sakti” tersebut dinyatakan tidak berlaku.
“Pihak rumah sakit menyatakan kartu KIS Pak Kuat sudah mati,” tutur salah satu perangkat Desa Babadan, Harun Al Rasyid yang membantu urusan keluarga Kuat.
Bukan saja keluarga, Harun juga terkejut saat tahu KIS milik Kuat sudah mati. Sebab kartu ini dibagikan sekitar Maret 2017 lalu dan belum pernah digunakan.
“Ini pertama kali digunakan untuk berobat, dan langsung dinyatakan mati,” ucap Harun, saat ditemui di RSI Tulungagung, Minggu (28/5/2017) sore.
Kuat Mujib sakit sejak Minggu (21/5/2017). Mendapat penjelasan kartu KIS milik Kuat sudah tidak aktif, Harun mencari penjelasan pihak BPJS.
Dan ternyata BPJS mengatakan bahwa KIS milik Kuat memang sudah tidak aktif.
Dan yang membuat kaget Harun, status Kuat dinyatakan meninggal dunia. Padahal Kuat selama ini masih hidup.
“Jadi tidak aktifnya itu karena Pak Kuat dinyatakan meninggal dunia. Makanya kartunya juga dimatikan,” tambah Harun.
Pihak BPJS menyarankan agar Kuat ikut BPJS mandiri. Nantinya setelah satu tahun bisa dinyatakan tidak mampu dan menerima KIS kembali.
Namun Binti dan Kuat keberatan, karena mereka memang keluarga miskin.
Harun mengaku sudah meminta penjelasan Dinas Sosial Kabupaten Tulungagung. Sebab Dinas Sosial yang melakukan pendataan penerima KIS.
Dinas Sosial pula yang memberi rekomendasi seseorang untuk dikeluarkan dari KIS.
“Tapi jawaban Dinas Sosial tidak juga memberikan kepastian. Katanya kasus seperti Kuat sering terjadi. Padahal saya pertanyakan, apa alasan Dinsos menyatakan Pak Kuat meninggal dunia?” ucap Harun kesal.
Koordinator LSM Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jawa Timur, Arif Witanto mengatakan, apa yang dialami Kuat memang sering terjadi. Penyebabnya adalah update data yang dilakukan Dinas Sosial.
Mereka memang diberi kewajiban untuk memantau peserta KIS yang meninggal, atau dengan alasan tertentu tidak layak menerima KIS.
“Misalnya awalnya dianggap miskin, kemudian dalam perkembangannya ternyata ekonominya meningkat sehingga tidak miskin lagi. Yang seperti itu memang harus dikeluarkan dari KIS,” terang Arif.
Namun Arif mengaku masih heran, jika ada orang yang masih hidup dinyatakan mati.
Akibatnya mereka tidak lagi bisa menggunakan KIS. Arif menduga, sebenarnya mengubah status meninggal dunia ini untuk menyesuaikan pembiayaan BPJS.
“Dugaan saja karena keterbatasan biaya, maka yang statusnya meninggal itu dialihkan untuk pasien lain,” ungkap Arif, saat mendampingi keluarga Kuat.
Arif juga menuding, Dinas Sosial kerap berlaku sepihak. Mereka melakukan survey tanpa melibatkan pihak desa yang lebih paham kondisi warganya. Akibatnya proses penonaktifan KIS tidak valid.
Kartu KIS milik Kuat akhirnya diaktifkan, setelah ada pertemuan pihak rumah sakit, BPJS dan para pendamping keluarga Kuat.
Sebelumnya pihak desa juga diminta untuk mengeluarkan surat keterangan, yang menyatakan Kuat Mujib belum meninggal dunia.
Namun belum ada penjelasan dari BPJS Tulunagung maupun dari Dinas Sosial.
“Seketika kartunya bisa diaktifkan, dan langsung bebas biaya. Pak Kuat hanya membayar biaya obat saat awal-awal dia masuk rumah sakit, karena dianggap pasien umum,” tandas Arif.