Ketertarikannya pada sesama jenis sudah dirasakan sejak kecil. Hal itu karena masa kecil dan sekolah, ia lebih banyak bersinggungan dengan kakak perempuan dan ibunya.
Memasuki bangku sekolah menengah atas, ia mulai berani jujur pada diri sendiri. Ia mulai menunjukkan rasa ketertarikannya pada teman laki-lakinya dengan perhatian lebih. Contohnya memberikan bekal makanan dan sebagainya.
Lepas SMA, ia kuliah di Kota Semarang. Atmosfer ibukota Jateng yang lebih terbuka, membuatnya makin jujur dengan diri sendiri.
Terutama setelah ia memastikan diri sebagai gay lewat sebuah acara bincang-bincang sebuah radio dengan dokter.
"Di sini saya jujur dengan diri sendiri, bahkan dengan teman-teman saya. Di kota orang-orangnya lebih terbuka," imbuh Boni.
Boni pernah berusaha berpacaran dengan perempuan selama dua tahun. Namun, ia mengakui tidak merasa nyaman. Hingga memutuskan menjadi diri sendiri.
Ia tidak ingin hidup sekadar sebagai gay. Karena itu, ia memilih menjadi aktivis kesehatan untuk teman-teman gaynya. Ia menjadi semacam penghubung bagi gay yang memiliki permasalahan HIV/AIDS.
Sementara itu, JS, seorang gay di Kota Semarang lainnya bercerita bahwa gay zaman sekarang berbeda dibandingkan kurun tahun 90an.
Menurutnya, gay pada era 90an lebih guyub dan rasa kekeluargaan lebih dalam. Gay zaman sekarang menurutnya sudah individualistis.
"Sekarang kenalan di medsos terus ketemuan, selesai," tuturnya.