Sayang, selain fragmen yang dipajang di Museum Kerta, tidak ada temuan lain.
Laras bagian ujung kemungkinan besar masih utuh, terlempar di radius yang cukup jauh dari posisi ledakan.
Dilihat dari lengkungan laras di fragmen yang tersisa, meriam ini termasuk kaliber menengah atau besar.
Ada dua ciri lain yang masih bisa dilihat di fragmen ini.
Yaitu bagian ujung dari motif sulur yang dicetakkan di permukaan besi cor.
Satu lagi, galur embos persegi empat yang belum diketahui peruntukannya.
Selain itu tidak ditemukan ciri lain. Bobot fragmen ini sekitar 50 sampai 75 kilogram.
Perihal asal usul meriam dan zaman siapa dibuat, peluang besar ada di era Sultan Agung yang politiknya sangat ekspansif.
Hampir tiap tahun di masa raja legendaris Mataram Islam itu terjadi peperangan.
Sultan Agung pula penguasa yang berani menantang VOC, mengirim bala tentaranya ke Batavia.
Pasukan Mataram memiliki persenjataan yang hebat kala itu, termasuk aneka meriam kecil hingga berukuran jumbo.
Buku Dr HJ De Graaf (Runtuhnya Istana Mataram, 1987), menyebut, ketika Amangkurat I di ambang keruntuhan, militernya masih memiliki 10 meriam besar dan 20 ribu prajurit di Plered.
Dengan kekuatan sebesar itu, keruntuhannya seharusnya tidak terjadi ketika pasukan Trunojoyo menyerbu.
Namun, Plered akhirnya runtuh karena konflik internal yang mematikan.