"PR kami harus memberdayakan masyarakat di situ, apakah menjadikan UMKM Kepariwistaaan atau pemberdayaan yang sifatnya kursus atau pendidikan," kata dia.
Pemkab Sragen sudah mengalokasikan anggaran sebesar Rp6 miliar untuk program revitalisasi Gunung Kemukus sebagai wisata ziarah dan religi dalam APBD 2017.
Selama ini, masyarakat setempat mengenal kawasan tersebut sebagai wisata ziarah. Biasanya, jumlah peziarah mengalami puncaknya pada saat malam Jumat Pon dan malam Jumat Kliwon.
Menurut Juru kunci wisata ziarah Gunung Kemukus, Tojiman, Jumat Pon merupakan hari meninggalnya Pangeran Samudro—putra Sultan Trenggono yang dimakamkan di Gunung Kemukus. Sedang Jumat Kliwon merupakan peringatan tujuh hari meninggalnya Pangeran Samudro.
Pada kedua momen itu, sedikitnya 5.000 orang peziarah mengunjungi Gunung Kemukus untuk ritual 'ngalap berkah' alias mencari berkah peruntungan.
Namun berdasarkan kepercayaan, upaya itu harus dilengkapi dengan hubungan seks dengan orang yang bukan pasangan resminya selama tujuh purnama. Dan hubungan badan selama tujuh purnama tersebut harus pula dilakukan dengan orang yang sama.
Komersialisasi seks
Pada mulanya, baik lelaki maupun perempuan yang datang untuk ngalap berkah, melakukan syarat persebadanan itu dengan sesama peziarah. Namun kemudian, terjadi komersialisasi seks, seiring munculnya para pekerja seks yang menawarkan jasa bagi para peziarah yang segan mencari pasangan sesama peziarah.
Hal itu diungkapkan oleh Dosen Universitas Atmajaya Yogyakarta, Endang Sumiarni, yang pernah melakukan penelitian tentang 'Seks dan ritual di Gunung Kemukus'.
"Dalam perkembangan, area Gunung Kemukus berubah menjadi area prostitusi. Karena yang hadir ke situ tidak semata-mata ritual, tetapi ada yang sekedar ingin melihat, ingin mendapat pasangan seks yang gratis, tidak usah bayar [dengan] pura-pura ngalap berkah. Yang ketiga, yang benar-benar ingin cari wanita penghibur di situ," jelas Endang.
Berdasar penelitan Endang, sepanjang lereng Gunung Kemukusbermunculan warung remang-remang yang setiap warung dihuni sekitar lima hingga tujuh perempuan yang memang menjajakan diri untuk melayani laki-laki yang ingin mencari perempuan penghibur.
Maka dari itu, menurutnya, tidak relevan jika alasan 'kearifan lokal' dijadikan alasan untuk menolak penertiban kegiatan prostitusi di Gunung Kemukus.
"Kalau itu dikatakan mengandung kearifan lokal, saya rasa bukan hubungan seksualnya. Jadi bolehkah ritual dilakukan? Boleh, tapi bisa diganti. Bentuknya bisa diganti, misalkan berhubungan seks antara pria dan wanita yang merupakan pasangannya."
Di sisi lain, sisi ekonomi selalu menjadi alasan utama aktivitas prostitusi langgeng di lokasi tersebut. Namun menurutnya, hal itu tidak akan menjadi masalah jika pemerintah daerah kemudian memberdayakan masyarakat setempat dengan menghilangkan prostitusi.
"Jadi pemberdayaan masyarakat melalui banyak hal yang bisa ditawarkan ke situ, untuk pariwisata, pengembangan kuliner, pengembangan kerajinan lokal, dengan bahan-bahan lokal yang bisa untuk kreativitas. Sehingga antar organisasi perangkat daerah itu mestinya bisa saling bekerja sama," jelas Endang. (BBC Indonesia)