Ketika masa pembebasan tanah untuk pembangunan bandara itu dimulai, mereka sama sekali tak menghiraukannya.
Demikian pula ketika pada akhirnya model ganti rugi tanah dan bangunan itu dikonsinyasikan ke Pengadilan Negeri (PN) Wates, Rohani dan keluarganya sama sekali tak menggubrisnya.
Mereka teguh menolak tergusur dari tanah kelahirannya.
"Konsinyasi memang kami tidak mengikuti karena kami tidak ingin menjual rumah dan tanah ini. Rumah ini warisan orangtua dan akan diwariskan ke anak cucu nanti," kata Rohani dengan mata berkaca-kaca.
Kenyataan memang berkata lain dan keluarga Rohani maupun warga lainnya tak sangggup berbuat apa-apa ketika petugas PT Angkasa Pura I dikawal aparat mencongkel daun pintu dan jendela rumah mereka.
Upaya mereka dengan mengadang petugas tak mampu membuahkan hasil.
Pencongkelan paksa itu tetap terjadi dan lambat atau cepat mereka harus segera pindah dari rumah yang bakal diratakan tanah untuk proyek pembangunan bandara tersebut.
"Kami belum berpikir bagaimana selanjutnya. Tidak ada saudara lain yang bisa ditumpangi. Insyaallah, kami masih bertahan di sini," ucap Rohani dengan nada yang tetap lirih.
Suami Rohani, Fajar sempat berusaha mempertahankan rumahnya agar tak disentuh petugas.
Menurutnya, petugas tak berhak untuk menggusurnya karena ia tak pernah menjual tanah kepada siapapun.
"Kami tidak pernah menjual tanah kami. Dari awal kami menolak menjual tanah kami. Ini hak saya," kata Fajar kepada petugas yang berkumpul di depan rumahnya saat itu.
Warga tetap pada sikapnya untuk menolak pembangunan bandara itu menggusur tanah mereka.
Mereka menyebut tidak menjual lahan dan rumahnya sampai kapanpun karena di sanalah mereka tinggal.
Maka itu, warga menilai tindakan petugas telah merenggut hak mereka dengan memaksakan kehendak atas nama proyek pembangunan.(TRIBUNJOGJA.COM)