Baca: Kemendikbud: Tidak Ada Maksud Mendikbud Untuk Merendahkan Masyarakat NTT
“Namun, saya berjanji secepatnya saya menemui tiga majelis hakim itu agar salinan putusan segera dikirim ke PN Bajawa,” kata dia.
Selanjutnya, para pengunjuk rasa membubarkan diri.
Kepala Divisi Hukum Kompak NTT, Paulus Kune menegaskan, kalau MA tida secepatnya mengirim salinan putusan perkara tersebut, maka Kompak NTT akan menduduki gedung MA.
Diketahui, Gedung DPRD Nagekeo dibangun di atas lahan sengketa.
Penggugat adalah Remi Konradus yang bertindak atas nama pemegang hak ulayat Suku Lape, Nagekeo.
Tergugat atau termohon adalah Efraim Fao sebagai tergugat I, Bupati Nagekeo sebagai tergugat II, dan DPRD Nagekeo sebagai tergugat III.
Tanah sengketa seluas 15.000 meter persegi atau 1,5 ha. Di atas lahan itu sudah dibangun gedung DPRD senilai Rp 10,3 miliar.
Gedung itu belum selesai dan hingga saat ini masih disegel oleh penggugat.
Perkara sudah melewati (a) Pengadilan Negeri (PN) Bajawa, (b) Pengadilan Tinggi Kupang, dan Mahkamah Agung (MA) untuk kasasi dan peninjauan kembali.
Semuanya dimenangkan penggugat.
Karena putusan MA hanya bersifat declaratoir, maka pengguat mengajukan gugatan baru ke PN Bajawa agar putusan bisa dieksekusi (condemnatoir). PN Bajawa mengabulkan permohonan penggugat.
Tidak menerima putusan PN Bajawa yang mengubah perkara declatratoir (hanya mengumumkan saja, tidak bisa dieksekusi) menjadi condemnatoir (bisa dieksekusi), tergugat mengajukan kasasi.
Namun, MA pada putusannya tanggal 19 September 2017 menolak permohonan kasasi tergugat yang meminta MA agar perkara itu tidak bisa dieksekusi. Dengan demikian, perkara tersebut harus dieksekusi.