TRIBUNNEWS.COM, KULONPROGO - Yatiman (50), warga Sidorejo, Desa Glagah, Kecamatan Temon hanya bisa menggerutu ketika backhoe dari proyek pembangunan bandara merangsek masuk ke lahannya dan mencoba merobohkan beberapa batang pohon kelapanya, Selasa (9/1/2018).
Ia sesekali juga berteriak menyuruh operator backhoe untuk menghentikan aktivitasnya,
Namun, suaranya tak cukup lantang untuk menandingi deru mesin backhoe serta kuatnya tenaga para petugas keamanan yang mengawal jalannya pembersihan lahan bandara hari itu.
Petugas berusaha menghalanginya mendekati backhoe.
Yatiman pun hanya bisa pasrah, sesekali menggerutu kembali, menyaksikan pohon kelapa yang ditanam eyangnya itu roboh begitu saja dalam sekali hentakan lengan bego yang perkasa.
"Iki lemahku, ngopo diembrukke? Nggo mangan malah diembrukke. Nek ngene iki arep mangan opo? Mangan watu?" tanya Yatiman di hadapan petugas kepolisian yang memasang pagar betis di hadapan warga dan aktivis penolakan bandara.
Kepada jurnalis, Yatiman mengatakan bahwa tanah dan pepohonan itu merupakan warisan dari eyangnya dan kini dimilikinya berdua dengan saudaranya, Ngatimin (66).
Setelah tak ada lagi garapan dalam proyek bangunan, dirinya otomatis hanya bisa mengandalkan hasil pertanian dan perkebunan miliknya di lahan tersebut.
Pria tiga anak dan satu cucu ini memiliki sekitar 20 batang pohon kelapa yang masih produktif di lahan tersebut.
Setiap pohon setidaknya bisa menghasilkan 50 butir kelapa yang bisa dijual seharga Rp2000 per butirnya.
Di sisi selatan lahan tersebut juga ada tanaman semangka siap panen namun belum turut diratakan oleh proyek pembangunan bandara.
Yatiman menyayangkan sikap PT Angkasa Pura I yang memaksakan kehendak untuk menggusur lahan miliknya dan merobohkan 10 pohon kelapa yang ada.
Padahal, dirinya secara tegas terus menolak menjual lahannya dan tak mau sedikitpun menghiraukan proses konsinyasi pembebasan lahannya.
Ia menilai, penetapan konsinyasi sebagai langkah sepihak dari proyek bandara dan sangat merugikan.